Mengenai Saya

Foto saya
Simpang-siur... Kadang2 bikin bete. Tapi sebenarnya bisa jadi teman yang mengasikkan. Sebagaimana Virgo, aku itu perasa dan pencemas. Itu yang seringkali bikin aku panik, meski herannya di kesempatan lain aku bisa sangat easy going.....

GURINDAM 12

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad
(Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, 1808- 1873)
adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.


Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.Kompleks makam beliau di pulau Penyengat, Tanjung PinangKompleks makam beliau di pulau Penyengat, Tanjung PinangKarya monumentalnya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara.


Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk.Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad.

Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November tahun 2004.


Pasal Pertama (1) Gurindam 12
=============================
Barang siapa tiada memegang agama
Segala-gala tiada boleh dibilang nama

Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang ma’rifat

Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah

Barang siapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri

Barang siapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terpedaya

Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudharat


Pasal Kedua (2) Gurindam 12
===========================
Barang siapa mengenal yang tersebut
Tahulah ia makna takut

Barang siapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tiada bertiang

Barang siapa meninggalkan puasa
Tidaklah mendapat dua termasa

Barang siapa meninggalkan zakat
Tiadalah hartanya beroleh berkat

Barang siapa meninggalkan haji
Tiadalah ia menyempurnakan janji


Pasal Ketiga (3) Gurindam 12
============================
Apabila terpelihara mata
Sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping
Khabar yang jahat tiadalah damping

Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
Daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat
Di situlah banyak orang yang hilang semangat

Hendaklah peliharakan kaki
Daripada berjalan yang membawa rugi

Hendaklah pelihara kaki *1
Daripada berjalan membawa rugi

Di 5

by Reni Teratai Air on Sunday, July 17, 2011 at 10:05am

Catatan Sederhana dengan Cinta yang Tak Sederhana

“Dede mau sekolaaahh…. Masa cuma Kaka yang sekolah!”

Kalimat yang berulang kali kamu teriakan sejak empat – lima bulan lalu. Tapi memang belum saatnya kamu sekolah, De. Pernah kita gabung di Play Group, tapi nyatanya hanya bertahan 3 minggu karena kamu bilang, “Anak kecil semua, Ma! Gak lepel!”

Kini kau bisa dengan bangganya memamerkan seragam TK-mu....

Atau ketika suatu kali kamu menjerit, “Mamaaa…. Aku udah gak suka strawberi lagi. Sampo, odol, minyak wangi, ga mau yang aroma strawberi. Baju, sepatu, dompet dan celana dalam, gak lagi yang gambarnya strawberi. Aku mau semuanya ganti sama Barbie. Tapi Barbie yang lagi pegang strawberi.”

Mmmm, okey. Kita ganti dengan Barbie. Tapi mendadak saat semua sudah berganti, 2 minggu kemudian kamu menjerit, “Mamaaaa… aku kangen celana dalam strawberikuuuu…”

Suatu kali kamu juga berteriak lantang, “Kenapa sudah besar Mama masih doyan cokelat? Itu makanan anak kecil. Oiya, Mama memang masih kecil, karena masih suka nangis sendirian di kamar.”

Ah, kamu!

Kalimat lugu yang sering bikin aku tergagap. Juga ketika kita pergi berbelanja ke sebuah supermarket, kamu berkata polos, “Kenapa semua pergi belanja sama papanya juga? Kenapa kita nggak?”

Pertanyaan yang aku tahu tak pernah kamu rencanakan, bukan? Dan Kaka langsung membalas kalimatmu dengan, “Dede lupa, ya? Papa kita sedang bekerja keras. Mencari uang untuk membeli kapal buat kita jalan-jalan, makanya kerjanya lama.”

Sayang, kalimat Kaka yang semula –aku yakin- untuk mencegahmu berkata banyak, malah kamu timpali dengan, “Mahal ya harga kapal? Sampe lama gitu kerjanya.”

Malamnya, saat dua dongeng sudah aku uraikan, kamu berbisik, “Ma, papa Dede ganteng mana sama Ariel atau Afgan? Kalo memang gak datang-datang, kenapa Mama gak cari papa baru?”

OMG!

Beberapa hari sebelum hari ini, kamu cemberut. Aku tahu apa yang akan kamu katakan saat kulihat kalender meja ada di tanganmu. “Mama nggak akan lupa, Sayang,” aku berusaha menghiburmu. "Ulang tahunmu kan?"

Kamu masih cemberut dan dengan suara sesak kamu bilang, “Aku mau tanggal lahirku ganti. Aku gak mau ulang tahun pas tanggal Mama detlen. Kalo Kaka ulang tahun tiap tanggal 4, kenapa Dede tanggal 17?”

Semalam, di pukul 11 malam, kamu memelukku erat. Tak meminta dongeng seperti biasa. Kamu meminta aku bernyanyi, meski kemudian kamu berkata, “Mama nggak bisa duet sama Ariel, karena panggung bakalan rubuh!” Nyatanya kamu tetap menikmati suaraku dan terlelap. Saat pergantian hari di pukul 00.00 semalam, kamu sudah ada di mimpi indahmu dan aku bisa mengecupmu sepuas yang aku bisa.

Anakku sayang, apa saja yang telah kita lewati begitu indah. Terlalu indah. Tak tergantikan dengan apa pun. Meski aku tak bisa memberi banyak untukmu, tapi aku selalu berusaha. Untukmu, untuk Kaka… untuk dua permata yang harganya tak pakai bandrol!

Di usia 5 tahun usiamu ini aku juga tak bisa memberikan apa pun selain doa dan sepotong tart mungil yang kamu bilang, “Semungil Mama.”

Ah, Kirani Sitti Mayda…. Bungsuku yang cerdik. Juga Ramadhani Nur Elfitria. Mama sayang kalian.

Sekali lagi ingin kuulang kalimat yang pernah aku ikrarkan di ultah tahun lalu;

“Jika pada ijab semua bisa bilang, 'dibayar tunai!' maka di miladmu, aku cuma bisa berujar dalam hati, 'dibayar cicil!' Ya, akan kuberikan kado untukmu dengan mencicilnya setiap hari, berupa doa-doa, perhatian, kasih sayang, bimbingan dan seluruh angka-angka di jam dinding…. Ya, setiap hari, sepanjangg waktu, akan kuberikan secara cicil, sampai kulunaskan kelak di saat datang hantaran pinangan untukmu dan kau dibawa olehnya …, atau saat Tuhan memanggilku.”

*** Pagi tadi kamu memelukku erat sesaat sesudah kau tiup lilin ultahmu. Lalu kamu berbisik, "Kadonya yang indah dong, Ma. Papa baru, yaa...."

Baiklah, Dede Kirani. Case closed!"


Selamat ulang tahun, Sayang….

Se-kelu

by Erin Pelangi Dan Teratai on Wednesday, June 22, 2011 at 3:29pm


Se-Bagian

Biarkan kuselesaikan

gaun mimpi yang kurajut semalaman

meski baru hanya bagian lengan

tak perlu sampai pada batas pinggang

Biarkan kusampirkan

selendang harap yang kau kenakan

biarkan menjuntai sampai batas angan

untuk bila jelmakan bayang

Dirimu Keluku


Sebaris kalimat itu

Pernah menjadi gaungku

Saat terburai mimpi-mimpi semu

Dan menyeret jemu

Aku tahu,

Langkahmu bukan untukku

Tapi kerinduan yang kau tawarkan dulu

Adalah luka maha dalam dari waktu ke waktu

Maafkan aku,

Ketika akhirnya kukatakan ini dengan kelu

Aku tak bisa menunggu

Dan langkahmu.. dan pikirmu.. dan kamu…

Dilema, Juni dan Bintang

Kau tahu jika kau berada di simpang jalan dengan dua tanda arah yang sama-sama menyebutkan 'jalan terus'? Kau akan pilih mana?

Juni ini diawali dengan banyak pilihan. Tetang pekerjaan (selalu), tentang anak-anak di rumah, tentang Mama yang belakangan menjadi 'Ibu Kost' di rumahku, tentang PRT yang begitu kejam mempermainkan waktu, uang dan kepercayaanku.
Setelah Mei yang kelabu kini datang Juni yang sibuk!

Selalu ada yang datang dan pergi, selalu ada yang silih berganti.
Tuhan punya cara jitu menyayangi umatNya dan memberinya peringatan-peringatan.
Sepanjang Mei kemarin aku mengerahkan dadaku hingga berlebam,
kini Juni aku harus mengerahkan tenaga dan pikiran hingga berdentam.

Dan Tuhan selalu punya cara indah...
Ia selipkan bintang di mataku di antara nanarnya sang waktu, lewat sekelumit rasa yang Ia sisipkan perlahan.... Ia Maha Tahu apa yang aku butuhkan dan Ia hadirkan dia meski (mungkin) hanya berkejap semalam....

Kau Buat Aku Menangis Lagi

by Reni Teratai Air on Saturday, April 30, 2011 at 10:31pm

1.

Ketika kau hanya punya tiga kata di tiga kalimat berbeda

Aku hanya mendengarkan dengan lapang

"Aku sayang kamu"

"Aku cinta kamu"

"Aku rindu kamu"

Ketika kau hanya punya tiga kata di satu kalimat terakhir

Aku hanya berharap mendengar dengan lapang.

"Aku tak bisa"

Kau ciptakan anak sungai di mataku

yang kau hadirkan lewat sembilu di tiga titik di ulu ini.

Aku telah remuk redam

2.

Sarat

penat

lumat

yang laknat

dan aku minta

"tamat"


· · Share · Delete

Mengakhiri Mei dengan Mengawali Juni

Siang itu langit tak muram, tapi juga tak benderang. Teduh, namun tak rapuh.
Sebentar lagi Mei berakhir, dan ingin sekali kututup segera, sebelum bertambah lagi pedih lain yang menyusul di mei kelabu.

Kubuka fesbuk dan kudapati banyak notifi. Sebuah notifi yang menarik perhatianku; seorang penulis puisi (aku belum bisa menyebutnya penyair) dan juga seorang pembaca puisi, mengomentari puisi yang aku post semalam.
Tentang puisi aku mengingat sesuatu, tugas membawakan acara sastra. Baiklah, aku akan menyeret nama itu untuk mengisi acara tersebut. Maka kusapa dia di inbox. Kami bercakap sebentar, sampai kemudian dia menuliskan kata-kata "Miss u, Dear" ..... OMG, itu kata-kata sakti yang selama ini kudapat dari seseorang yang menoreh Mei-ku dengan sangat tragis.
Termehek aku katakan uraikan kisah omong kosong itu.
Kami bercakap. Sederhana. Namun aku mendapat sesuatu. Bahkan aku ternyata terlalu cengeng.
Tapi..., tapi... tidak benar-benar cengeng. Okey, maksudku wajar bukan kalau aku harus menangis? Baiklah, apa pun itu tapi aku rasa aku butuh waktu untuk mengasihani diri sendiri dengan tersedu-sedu, bukan.
Oh, my... bukan ini yang mau aku ceritakan. Tapi tentang Mei yang sebentar lagi habis... dan Juni yang sebentar lagi datang.
Jika Mei harus berisi kepedihan, aku ingin segera menyudahinya. Tutup.

Tentang Mei yang (tak) Biasa

Menjadi sempurna Mei ini ketika di suatu sore yang dingin kuharus mendapati nyata, menjauhnya seseorang yang selama ini paling dekat.
Stelah beberapa kegagalan, setelah beberapa perih, setelah beberapa sandungan...
ingin kuteriakkan, "Plis, tidak saat ini!" tapi apakah berarti?
Kini dan nanti akan sama saja; aku akan mengalami juga.
Manusiawi sekali andai aku 'menunda' perih berikut, setelah perih-perih yang lain, karena kemungkinan terburuk, aku bisa menjadi sinting dalam kurun waktu yang begitu dekat dan sebentar, dengan segala hal yang terus menerus dan berdesakan.

"Nanti saja, jangan sekarang. Saat ini ada banyak yang aku hadapai, apakah kau ingin membunuhku dengan ikut memberi luka?"

Nyatanya, Mei ini benar-benar Mei yang luar biasa.
Aku terisak tanpa jeda
dan sesak begitu lama

Tapi kesakitan adalah obat dari kesakitan berikut.
Begitu pahit...

Enam Catatan di Enam Menit Melupakanmu

Romansa

Tidakkah kamu menjadi sephia, ketika tak kau gunakan logika dan romansa...

dan jawabmu.... "Selalu tak ada logika... pun ketika aku, kamu, kalian, tidak menjadi 'nya'. Cupid itu mengarah ke mana dia suka. Kau perlu 10 bab romantika dan tentu kau tak akan menemukan hukumnya..."

Aku tahu, kawan. Mari kita pulang...


Tuai

Mari kita tuai apa yang telah tertanam sejak beberapa waktu lalu.

Cinta.

Sayang.

Rindu.

Napsu.

Amarah.

Ego.

Dan cemburu...


Dialetika

Tidak untukku. Bahkan sedikit saja.

"Tidak," ujarmu. "Semua untukmu..."

Ketika cahaya matahari belum genap di tengah, luruhan daun menutup selaksa. "Kau tak pernah tahu apa yang kau ucapkan."

"Aku tahu..., maka di sinilah aku."

Matamu menentang, menusuk bulatan kecil manikku dan terengah menahan derai. "Kamu tak pernah tahu..."

Luruhan daun berhamburan... meranggas. Ternyata kita sama-sama tak pernah tahu.


Pelangi

Hujan

Dan pelangi tak pulang....


Malam Ini

Tidakkah kau lihat besar cinta yang kupersembahkan? Kau mengangguk, tapi kemudian menggeleng.

Lenganmu kukuh lingkarkan peluk.

"Kau milikku malam ini..."

Sayang..., kau tak pernah memilikiku ketika cintamu terikat di ujungnya.



Ritmis

Gerimis

rinai menyusul rintik yang ritmis

Usai dengan miris.

Dan... tragis


Enam catatan, saat akhirnya kau tahu... mengapa sephia...

Koin untuk PDS HB Jassin

Lagi-lagi.....
Dan mana yang lebih berarti? Ketika PNS sibuk jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan study banding dan menghabiskan milyaran dana untuk sekali lobi?
Ketika yang duduk di gedung bundar itu malah terkantuk-kantuk dan menghargai tanda tangannya dengan deretan banyak nol di belakang angka.
Untuk menikmat sastra, untuk keluhuran budaya, kenapa tak pernah ada dana?

Seperti kata Papi-ku, Saut Poltak Tambunan di status FB-nya :
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin - puluhan thn tmpt kami berteduh, bertukar pikir, menggagas angan, berjabat tangan. Ruangan sederhana, dari kantong yg kecil - kami bayar PAJAK, kami bayar PARKIR. Tolong kurangi kedalaman kolam ruang kalian, kurangi studi banding, kecilkan porsi makan+ snack rapat-rapat. Dokumen perjalanan sastra negeri ini ada di situ. Kami masih amat sangat memerlukan keberadaan PDS HB Jassin!

Mari kita teriakan : Buat apa Pajak yang kami bayar, kalau kami takbisa menikmati apa yang seharusnya bisakami nikmati?

Kalau Seorang Pemimpin Tak bisa Berkata-kata

Pemimpin, adalah panutan dari sebuah elemen. Bukan hanya ide-ide-nya yang cemerlang serta kecerdikannya membangun dan mengayomi. Tapi dia juga harus pandai beradaptasi dan bersilaturahmi. Bagaimana dia bisa menjadi pimpinan kalau bicara saja tidak bisa? Bagaimana dia bisa menjadi tokoh yang berwibawa kalau bicara saja dia sangat sulit?

Ada banyak pemimpin yang ternyata tak pandai bertutur secara alamiah tanpa teks. Di negeri ini mungkin hanya Soekarno, bagi aku, satu-satunya pemimpin yang sangat lihai membangun semangat persatuan dan kesatuan rakyatnya lewat orasi dan pidatonya yang seringkali dia lakukan secara alami, spontan dan tanpa bantuan sekretaris untuk menyusun naskahnya.

Bukan hanya pemimpin negara. Pemimpin, di manapun dia, adalah jiwa yang magnit. Mampu menghipnotis pengikutnya. Sekali bicara, kata-katanya didengar dan diresapi.

Film yang aku tonton ini, The Speech Kings, benar-benar menyentuh hatiku, bagaimana seorang raja (di film itu dia menjadi raja Inggris dan seperti kita tahu, tahta raja di sana adalah turun temurun) membangun simpatik rakyatnya lewat pidatonya -yang meskipun harus lewat teks yang dibuat para ajudannya.
Dia adalah raja yang gagap, yang hanya bisa bicara di depan keluarganya sendiri tapi tak pernah berhasil bicara di depan umum, pun lewat ruangan pribadi yang tertutup yang bahkan hanya orang kepercayaannya saja yang ada di depannya. Melalui corong suara, kata-katanya didengar oleh jutaan rakyatnya. Toh dia adalah seorang gagap yang harus banyak berlatih untuk menimbulkan rasa percaya dirinya dan melupakan sakit 'gagap'nya. Dia berhasil melalui itu semua berkat percaya diri yang ditularkan seorang aktor yang juga ahli terapi bicara.

Bicara, untuk didengarkan.
Bicara, untuk menyalurkan energi positif.
Bicara, untuk memberikan pengayoman.
Raja.
Bicara raja adalah mutlak.
Bicara pemimpin adalah petunjuk mata angin.


*nonton yang kedua bersama Ariel, bahkan aku tak pernah tahu bahwa saat itu adalah permulaan...*

The Mechanic, kepekaan dan kesetiaan

Sebaiknya sahabat, kita harus tetap waspada. Bukan, kamu nggak perlu menjauhi mereka, sahabat-sahabatmu. Tetapi setiap hal harus ada batas dan waspada.

Keluarga, adalah urat dan darah kita.
Sahabat, adalah danau dan embun. Sebagaimana danau, dia tenang tetapi dalam dan bisa menenggelamkan jika kamu nggak berhati-hati berenang di dalamnya. Sebagai embun, dia menyejukkan, tetapi dinginnya bisa menggigit tulang dan membuatmu demam jika kau terus-terusan berada dalam tetesannya.

The Mechanic, film yang aku tonton memang tidak betul-betul menegaskan apa yang aku sebut di atas, karena ini adalah film action thriller yang mengerikan kalau kamu nggak suka adegan tonjok-tonjokkan dengan luka robek yang menganga atau melepuh.
Tetapi isi di dalamnya layak kamu jadikan acuan, bahwa ketika kepercayaan sudah kau limpahkan seutuhnya kepada sahabatmu -sahabat keluargamu- jangan menjadikan dirimu lengah.

Tetaplah peka dan mawas diri di antara rasa setia kawanmu.
Manusia...., sehebat apa pun, dia punya sisi negatif dan siap menjatuhkanmu.

The Faither, Bukan Sekedar Bertarung

Bahagianya memiliki keluarga. Bagaimana pun keluarga adalah orang terdekat. Mereka tak akan meninggalkanmu, bagaimana pun keadaanmu, meski seringkali kita tak menyadari hal itu.

Film yang kutonton bersama seorang teman di Sabtu siang lalu begitu menggugah perasaanku. Film sederhana dan -apalagi- soal pertarungan, yang ternyata mampu mengaduk emosiku. Bagaimana keterlibatan keluarga sangat berpengaruh pada emosi masing-masing anggotanya serta masa depan.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seorang Ibu separuh baya yang tetap setia menampung 9 anaknya yang masih 'menetek' di rumahnya. Anak, menantu dan suami yang semuanya menganggur. Mereka hanya bertumpu pada profesi dua anak laki-laki yang petarung. Jika menang, mereka dapat uang. Jika kalah...
Sang Ibu yang selama ini menjadi manager dua anak laki-lakinya yang petarung itu, sekilas terlihat egois. Tapi tidak... sejak awal aku melihat sosoknya yang benar-benar ibu sejati, meskipun dalam beberapa hal beliau nampak memaksakan kehendaknya. Salah seorang dari dua anak laki-laki yang petarung itu adalah tulang punggung keluarga. Sehingga si ibu merasa 'wajib' mengemudikan hidupnya termasuk memilihkan pelatih, event, harga kemenangannya di atas ring, bahkan teman kencan!
Belum lagi sikap saudara-saudaranya yang lain yang sangat mendukung sang ibu dan semakin membuat si anak laki-laki yang petarung itu tertekan.

Ah, kita sering tidak menyadari apa yang ada di benak ibu kita. Kita hanya memandangnya sebagai sebuah paksaan dan kita harus memberontak.
Kita tak pernah tahu hati saudara kita, sampai kita menduga mereka iri dan semau-maunya. Dan kita tak menyadari bahwa sebenarnya betapa mereka sangat menyayangi kita, bagaimana pun sikapnya pada kita.

Ada yang meledak dalam dadaku, terutama saat mereka berpelukan di bagian akhir cerita.
Saat sang ibu berkata, "Aku tahu kau akan berhasil, Nak!" dan sang ayah berteriak, "Anakku juara dunia, lihat! Dia anakku!" juga ketika saudara-saudaranya berembuk untuk memberi surprise saat saudaranya yang lain berhasil lepas dari kemalangan.
Dukungan, doa, pujian, makian dan bahkan pertengkaran, adalah bagian yang tak bisa lepas dari kehidupan berkeluarga.

Mereka memimpin kita. Karena mereka tahu betul, siapa kita.

Betapa pun kita menilai mereka 'salah', nyatanya mereka adalah urat dan darah kita.

Terima kasih untuk seorang teman yang telah menemaniku menonton film ini.

Aku rindu keluargaku: Ibu, saudara-saudaraku di mana kami selalu ribu,t bertengkar, iri dan salah paham..., juga ayahku yang sudah berpulang.
Aku cinta kalian.