Mengenai Saya

Foto saya
Simpang-siur... Kadang2 bikin bete. Tapi sebenarnya bisa jadi teman yang mengasikkan. Sebagaimana Virgo, aku itu perasa dan pencemas. Itu yang seringkali bikin aku panik, meski herannya di kesempatan lain aku bisa sangat easy going.....

Gemintang di Ilalang Senyap

Gemintang adalah pijaran
ketika asa terengah mencapainya
suluhnya mengendap-endap
tapi dia tahu kemana cahaya membawanya

ada satu luka yang ia lihat
ada seribu keluh yang tak sampai padanya
ada satu sayat yang ia dengar
ada seribu tangis yang tak terungkap

Gemintang tahu
ia selaksa hantu cinta yang mengendap
ke seluruh pori yang menyamar
ke seluruh napas yang sesak

Satu urainya berderai-derai
"adakah yang bisa kubawa pergi?"
senyap tak juga bersuara
tapi Gemintang tahu
diamnya adalah tepi kepasrahan
menyusul jiwa kosong berpendaran


(Gemintang di seberang sana, 080509)
di antara deru ombak pantai Senggigi

PECAH

Saat kau pergi, ada yang terbawa di dalam sini
Kusadari jiwaku ikut pergi
Dan seluruh geletar nadiku mati

Harusnya tak perlu airmata
Untuk segala langkah yang kau punya
Kutelan saja segala pahit dari luka yang tercipta

Kuharus benahi diri
Merekat sebentuk hati yang telah kau gagahi
Dan kau pecahkan berkali-kali


210509

Bulan Menyimpan Cerita

Serupa gemerisik
Yang sentuh keluku
Ketika angin malam sepoinya menerpa rindu
Sendirian kerap mengusik

Malam yang merangkak
Menghantarku pada dini hari
Yang tanpa sapamu lagi
Hingga rasa itu berkerak

Ketika rembulan mencibir di ujung daun kelapa..
Cahayanya siratkan cerita
Tentang soneta cinta
Yang tinggalkan nestapa

Kuingin sampaikan
Bahwa luka tiada akan
Tersisa di liku jalan
Yang kita lalui berbarengan

Jika kau tak lagi bertahta
Apakah malam itu tetap punya cerita?

Kopimu Tak Tersentuh

Makin larut saja
Sementara tak juga kulihat kau ada
Angin, pekat, sinar bulan bahkan harum ilalang entah kemana
Semua diam tanpa sapa
Tak ada yang mengerti dan duga
Apa pun tentang mengapa

Memang sudah tak ada lagi geliat itu
Bahkan tangis pun hilang sendu
Mungkin airmata telah berpindah
Meredam gulana dan gelisah
Menepis rindu dan cinta
Hingga tak lagi bertahta

Hanya menunggu
Karena aku perempuanmu
Barangkali saja egomu tergugu
Meski kelebat tanpa rindu

Semangkuk balado kentang
Tumis kikil yang menantang
Serta ceplok telur yang terhidang
Terdiam utuh dan dingin tak tersambang

Bahkan secangkir kopimu
Tak terjamah, menunggu..

Permata-permata Maurin

Dia harus menebus kesepian anak-anaknya, dengan membagi jiwanya, lentur bagai karet. Sebelah menjadi ibu, sebelah menjadi ayah.



Bagiku dia adalah wanita hebat. Wajahnya selalu sumringah. Tawa dan sapa ramahnya selalu menebar ke mana-mana. Hampir tak pernah aku melihatnya muram atau bersedih. Padahal, sebagai seorang single parent dengan dua bocah kecil, tentulah amat berat kehidupannya.

Dia pernah bilang, “mulailah pagimu dengan senyum.”

Rasanya itu kalimat klise dan ‘seenaknya’ aja. Bagaimana kita bisa tersenyum pagi-pagi, saat bangun kesiangan dan harus mengejar bus ke kantor?

Aku harus bilang dia, sahabatku ini, adalah seorang wanita hebat. Karena di pagi buta saat kantuk masih merajai, dia sudah harus menyingkirkan selimut. Meyakinkan dua permatanya nyaman di kasurnya, untuk kemudian dia bergelut dengan rutinitas paginya.

Setelah usai dengan sarapan, dia mengantar permata-permatanya ke sekolah yang memang jaraknya begitu dekat dari rumah. Lalu ia kembali ke rumah dan mulai mencatat daftar belanjaan, apa saja yang mesti dibeli Si Mbak untuk menu makan siang nanti. Sementara urusan menu belum selesai, ponselnya berdering-dering. Dari kantor, dari sumber berita, dari operator internet, sampai teman arisan. Dia melayaninya dengan tangan yang terus mencatat, sambil sesekali mengecek apakah ada bumbu dapur dan kelengkapannya yang habis. Lalu dia pergi ke kamar anak-anak. Bukan untuk merapihkan tempat tidur dan bantal-bantalnya, karena itu juga tugas Si Mbak, tapi mengecek apakah meja belajar dan rak buku mereka dalam keadaan aman, tak ada yang berbahaya atau mengkhawatirkan –dia pernah cerita bahwa dia menemukan majalah dewasa miliknya, di meja mereka!

“Entah bagaimana bisa majalah yang kubeli seminggu lalu itu, tiba-tiba berada di meja Arum! Mungkin dia mencurinya dari laci mejaku dan membawanya ke kamar!” ujarnya ketika itu. Maka sweeping pun selalu ia lakukan saat mereka sudah berangkat ke sekolah.

Kemudian dia mulai menyiapkan diri untuk pergi ke kantor. Sebelum beranjak meninggalkan rumah, sederet wanti-wanti ia uraikan pada Si Mbak, yang akan selalu mengangguk paham.

Aku harus bilang, dia wanita hebat, karena meski dengan kelelahan yang sangat, dia selalu saja bisa menjejakkan kaki di kantor dengan wajah yang tetap sumringah! Hingga sore tenggelam. Tapi tawanya tak pernah lenyap. Dia selalu riang. Bagaimana sepanjang hari itu ia berkutat dengan segala hal yang serba cepat.

Aku, rekannya sepekerjaan. Kami adalah partner yang hebat. Selama 4 tahun kami mengarungi dunia jurnalis bersama-sama. Maurin yang periang dan selalu semangat. Tahu bagaimana paginya, siangnya dan malamnya. Meski sebagian ini hanya lewat cerita-ceritanya. Aku pikir, aku sudah sangat mengenalnya.......


Sore itu aku mampir ke rumahnya, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari kantor. Aku mampir karena membutuhkan jas hujan. Sore itu mendung bergelayut dan aku lupa membawa jas hujan di motorku, kebetulan dia menyimpannya karena dulu dia ke mana-mana menggunakan motor.
Aku melihat bocah-bocahnya yang manis di rumah mungilnya. Aku yakin, seperti juga dalam cerita-ceritanya, bahwa ia dan bocah-bocah itu bahagia.

Singgahanku yang kedua adalah saat aku mengantarkan flashdisknya yang tertinggal padahal ia memerlukan itu untuk mengedit beberapa artikel yang harus masuk keesokan hari. Aku melihat mereka sedang bercengkrama. Si Sulung mengerjakan PR dan Si Bungsu bergelayut manja dipangkuannya sambil diajarkan membaca. Hanya bertiga. Tapi begitu semaraknya!

Singgahan berikutnya, adalah ketika ia mengundangku makan malam. Aku baru tahu belakangan bahwa saat itu ia berulang tahun. Selanjutnya singgahanku bukan sekedar singgahan tapi adalah kerinduanku untuk menatap bola-bola bening yang mengerjap indah dengan segala keluguannya. Arum dan Kintan. Aku tidak tahu, kenapa aku menjadi begitu ingin berada di dekat dua bocah miliknya. Mereka begitu hangat padaku. Begitu manja dan menginginkan aku.

Rumah itu memang semarak. Cerita dan tawa tiga wanita di dalamnya selalu membahana. Tapi di mataku, rumah itu sepi sesungguhnya. Entahlah! Tetap ada yang kurang. Bukan saja sosok laki-laki sebagai tiang rumah ini, tapi juga aku tak pernah melihat ada sanak famili yang bertandang.
“Tak terpikir untuk memulai lagi, Rin?” Suatu hari, jauh sebelum aku singgah ke rumahnya untuk yang pertama kali, aku pernah bertanya begitu. Dia menggeleng.

“Aku bahagia dengan hidupku sekarang!”

“Syukurlah! Tapi lebih baik kalau ada pendamping, Rin!”

Dia tertawa.

“Tak selamanya kamu bisa hidup sendirian terus!”

“Kenapa tidak?"

“Kamu perlu seseorang untuk menemani kamu. Aku tahu kamu kuat, kamu perkasa. Tapi sebagai perempuan, kamu tetap membutuhkan teman..”

Dia menggeleng tegas! “Aku dan anak-anakku bahagia, Aryo! Kalau kau bertemu anak-anakku nanti, kau tidak merasa harus bertanya seperti itu!” jawabnya.

“Mereka tidak pernah menanyakan ayahnya?”

“Mereka baik-baik saja, Aryo!”

Sulung berumur 4 tahun saat ayahnya pergi, sementara bungsu berumur 1 bulan. Arum memang sempat menanyakan ayahnya di awal-awal dulu. Tapi sekarang dia sudah melupakannya. Ia selalu mengatakan, ayahnya pergi tak perlu dirisaukan. Arum paham itu, sampai usianya kini menginjak 8 tahun. Sementara Kintan, dia bahkan tak mengenal ayahnya sama sekali, karena ditinggalkan saat ia masih sangat merah.

“Bagaimana mungkin dia menanyakan ayahnya, sosok yang tak sempat ia kenal?” ujarnya.
Benarkah?

Kini aku sudah bertemu dengan mereka, bahkan sudah belasan kali! Aku melihat bocah-bocah itu sangat bahagia. Tapi aku juga melihat adanya kerinduan yang bermain di bola bening mereka.

*


Minggu sore itu, aku menjemput Arum dan Kintan. Kemarin aku janji akan mengajak mereka berenang. Maurin, sahabatku itu, memang sedang tidak di rumah, ada undangan pers yang tidak bisa diabaikan, tapi dia mengijinkan aku menjemput anak-anaknya. Tapi begitu aku tiba di sana, mendadak langit gelap. Mendung tiba-tiba bergayut. Gerimis tipis-tipis berganti menjadi derai hujan. Aku, Arum dan Kintan termangu.

“Kita main hujan aja!” jerit Arum tiba-tiba. “Mama pasti nggak marah, asal habis itu kita langsung mandi air hangat dan minum vitamin.”

Aku masih ragu saat Kintan -Si Bungsu- tiba-tiba sudah berlari ke luar dengan semangatnya. Dalam tiga menit, mereka sudah menari di antara rinai hujan di halaman itu. Aku tergelitik dan kami main bola bersama. Tiba-tiba aku terpeleset dan jatuh. Tungkaiku terkilir. Arum menghampiri dan membantuku berdiri. Permainan kami selesai. Di teras, Arum memberiku handuk.

“Om Aryo, mandi dulu. Aku udah bilang Si Mbak masak air panas buat kita!” Arum berlari ke dalam, entah mungkin mandi duluan.

Sementara Kintan memperhatikanku diam-diam, dengan tubuhnya yang basah. Dia mendekatiku.
“Papa pernah jatuh, waktu main hujan!”

Aku menatapnya terkejut. “Papa?” Bukankah Kintan tak mengenal ayahnya?!

“Kata Kakak, dulu Papa suka main bola di sini...! Papa suka ajak Kakak hujan-hujanan...”

Aku masih menatapnya gemetar. “Kintan?”

“Kan Dede belum ada.., masih di perut Mama kata Kakak.”

Aku tertegun.

“Kata Kakak, Kakak sama Dede punya Papa. Tapi sekarang papanya nggak ada.., nggak pulang-pulang..”

Deras hujan sore itu, dingin airnya yang meresap masuk pori-pori, rasanya tak sedahsyat apa yang aku dengar. Bola mata polos yang bergerak-gerak memandangku dan bergantian memandang hujan, benar-benar keluguan yang tak tersentuh peristiwa di sekitarnya. Tapi siapa yang bisa menduga isi hatinya? Ucapannya barusan, bukankah sebuah kerinduan yang maha dalam?
“Dede cepat mandi, ya! Bilang Mbak, ayo cepat sana!” Aku mengacak rambutnya.
Bocah mungil itu mengangguk, berlari masuk ke dalam.


*

Aku melihatnya meringkuk di sofa dengan tivi menyala. Tangan kanannya memegang remote. Tangan kirinya memegang ‘Puteri Sinzhui’ jilid dua. Dia ketiduran lagi!

Aku meletakkan martabak keju di meja. Arum yang menyongsongku, segera membuka bungkusan itu dan melahapnya. Aku menempelkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan pada Arum supaya tidak berisik dan membangunkan mamanya.

“Mama semalam menangis!” bisik Arum dengan mulut penuh, sambil melirik mamanya.

“Heh?”

“Listrik mati. Mama kan takut gelap!”

Aku nyengir.

“Tapi bukan itu yang bikin Mama nangis..., Mama kangen papa!”

“Heh?” Ini surprise buat aku!!

“Eh, Om jangan kaget gitu..! Mama bukan kangen papa yang beneran papa. Bukan papanya Arum!”
“Jadi papanya siapa?”

“Yaahh.., papa...?!” mata Arum membulat menatapku, “Papa yang lain!”

“Memangnya udah ada?”

Arum menghela napas, sedikit jengkel agaknya. “Belum, Om! Mama nggak punya papa, makanya mama harus punya.., karena Mama sering nangis. Lampu mati, Mama takut... stop kontak konslet, Mama bingung. Nilai Arum jeblok, Mama ngeluh sendirian. Kintan rewel tengah malam, Mama ikutan murung. Mama kayaknya capek deh, Om! Kemarin Arum liat Mama bengong di meja dapur.”
Aku mulai paham apa yang dimaksud Arum.

*


Kini aku semakin mengenalnya. Lebih dari sekedar apa yang ke luar dari mulutnya. Setelah singgahan-singgahanku, setelah kedekatanku dengan dua bocah lucu itu, setelah aku melihat sendiri...

Dia boleh mengaku bahagia dengan kehidupannya sekarang, single parent bersama dua bocahnya yang lucu-lucu. Tapi tak seluruhnya benar!

Sekuat apa dia? Sendirian mencari nafkah, membesarkan putri-putri tercinta. Mengawasi, mendengar keluhan mereka, mengatasi segala masalah.., semuanya, sendirian! Dia tentu letih. Lahir dan batin. Dan dia berpura-pura!!

Dia tertidur di karpet ruang tengah di depan tivi. Masih dengan baju yang tadi dikenakannya di kantor. Kami baru selesai pukul 10 tadi dan aku mengantarnya pulang. Begitu tiba, dia langsung menggelosor di karpet sementara aku mengecek Arum dan Kintan di kamarnya. Begitu kembali kulihat dia sudah terkulai. Dengkurannya terdengar lembut dan halus. Dia letih sekali. Aku menatapnya lama-lama. Kusingkirkan helaian rambut yang menutupi pipinya. Sangat perlahan. Aku melihat bibirnya tersenyum, sementara lelapnya telah begitu jauh membawanya...

*


“Kamu boleh bilang, tak perlu sosok laki-laki. Kamu boleh bilang, kalian sudah berbahagia! Kau yakin?”
Ia menatapku.

“Figur laki-laki tak harus mereka dapatkan dari sosok ayahnya. Anak-anakmu, punya om? Punya pak de, punya pa’cik, punya.., siapapun laki-laki di keluarga besarmu! Tautkan silaturahmi mereka dengannya. Anakmu akan merasa sangat kaya, dikelilingi oleh keluarga besar yang mengasihinya!”

Dia terdiam. Tertunduk memainkan kerikil di kaki-kakinya. Aku tahu dia resah. Segala hal yang berhubungan dengan permata-permatanya selalu membuat Ibu muda ini khawatir. Dia memiliki kekhawatiran yang berlebihan dan aku bisa memakluminya. Dia tak pernah ingin anak-anaknya bersedih. Segala usaha dia lakukan untuk membuat anak-anaknya bahagia. Dia harus menebus kesepian anak-anaknya, dengan membagi jiwanya, lentur bagai karet. Sebelah menjadi ibu, sebelah menjadi ayah. Dia hampir berhasil!

“Apa arti perjuanganku selama ini..??” lirih sekali suaranya.

Kemarin, tak diduga-duga, Arum keceplosan bicara, “Arum pingin ada papa. Papa yang mana aja. Bosan cuma bertiga terus. Memangnya Mama bisa melindungi Arum dan Kintan, kalau Mama aja takut sama suara petir!”

Di sinilah Maurin, di hadapanku. Nampak lemah dan putus asa. Ketegaran yang selama ini ditunjukkannya lenyap. Hanya karena ‘ceplos’-nya Arum!

“Kamu bisa, Maurin! Tinggal selangkah lagi usahamu! Menautkan tali silaturahmi, agar anak-anakmu tetap mendapatkan sosok laki-laki pengganti ayahnya!”

Dia mendongak. Matanya yang selalu bersinar, nampak nanar. Untuk kali pertama aku melihatnya menangis! **



Dimuat di kumpulan cerpen majalah Kartini edisi April 2009

SESEORANG UNTUKKU

Aku masih memikirkan kata-kata Sandy sampai teh di cangkirku habis. Kemarin-kemarin aku mengabaikan segala celotehnya, tapi seminggu ini entah kenapa segala yang dikatakan Sandy mengusikku. Tepatnya nyaris membuatku bimbang. Aku mulai menyukai Sandy? Mmm.., bukan, bukan menyukai. Nggak mungkin kami bisa menjadi rekan kerja yang kompak dulu, kalau aku tidak menyukai laki-laki lajang yang lebih muda dariku 5 tahun itu! Mungkin aku mulai.. Akh! Aku yakin aku sedang kacau. Minggu deadline kadang bikin otakku agak aneh! Akhirnya aku memutuskan menghabiskan pagi ini di mejaku sampai si sulung kembali dari sekolahnya. Aku membuka emailku. Ada beberapa surat tapi aku langsung tertarik pada satu surat dengan subyek ‘Pagiku..’

‘Semburatnya tak selalu sama. Kadang keemasan dengan cahaya berkilau, kadang pula redup dengan sapuan awan hitam. Terkadang pula kicau burung riang, tapi juga tak jarang hembusan angin dingin yang menggigit. Apa dan bagaimana, pagi tetap akan datang. Dia miliku, juga milik kamu.. sayangnya kamu tak pernah sadar itu..’
Pujangga kesiangan!

Aku langsung me-replay, ‘kalau memang aku tak pernah menyadarinya, kenapa aku selalu terbangun setiap semburatnya mengintip di subuh hari?’ lalu aku tersenyum membayangkan dia membaca balasanku dengan tersenyum pula.

*

Yadi sudah siap meninggalkan meja kerjanya saat aku memanggilnya.

“Pulang?” tanyaku heran.

“Sori, Mbak. Ada janji sama yayang... Pliss??”

Aku melirik jam. Masih ada sisa dua puluh menit lagi dari jam pulang kantor.
“Liputan kemarin?” aku menadahkan tangan.

“Besok pagi pasti kelar, sumpah!”

Aku menatapnya.

“Janji, bahkan sebelum Mbak datang, laporannya sudah ada. Oke? Yayangku lagi ngambek, Mbak... empat hari nggak ketemu. Sekarang kita mau baikan, tapi syaratnya aku nggak boleh telat. Plis??”
Aku cuma menarik ujung bibirku dan kembali ke monitorku.

“Thanks Mbak Hani yang baiikk. Besok ta’ bawain coklat deh! Bye...! Senangnya hatiku hilang panas demamku...” Yadi berdendang sambil ngacir dari mejanya.

Setelah Yadi pergi, aku tercenung dengan ujung bibir yang tersungging. Membayangkan indahnya masa pacaran seusia Yadi. Itu menyeretku pada putaran waktu beberapa tahun lalu. Terus-terang, kadang aku rindu perasaan-perasaan itu. Keindahan yang sulit diuraikan dengan kata, saat aku laksana seorang ratu…! Ya, ratu, meski cuma sebentar.

*

Mataku melirik ke dinding penyekat di sebelahku. Senyum Mutia dan Dana tergambar di situ. Buah hatiku, di mana aku berdiri tegar karenanya.

Tiba-tiba layar komputerku menampakkan sebuah messenger. Sandy si pujangga kesiangan itu menyapaku. 'Seringkali yang ada di kepala tidak selaras dengan hati. Pada saat seperti itu, mana yang sebaiknya kamu pilih?'

Ada banyak hal ‘benar’ yang disampaikannya.

Aku membalasnya; Tergantung kapan hal itu terjadi….
Sandy menjawabnya dengan icon wajah nyengir. Dan tak lama messengernya bermunculan.

“Apa kabar, Pagiku??”

“Baik, Alhamdulillah..”

“Semoga pagi ini cerah dan segalanya lancar. Nulis apa?”

“Kamu pikir apa?”

“Prinsip seorang Ibu dengan dua anaknya?”

Dahiku berkerut. Kubalas pesan itu dengan mengirimkan icon wajah meledek yang menjulurkan lidah.

“Kebanggaan bukan pada apakah dia bisa melalui itu semua. Tapi apakah dia bisa mengisi itu semua tanpa meninggalkan hal yang lainnya..”

Aku menyertakan lagi icon wajah bertanya. Dan dia membalasnya; “Wake Up, Mbak! Ada sinar matahari dan kau mengabaikannya..”

Aku menyertakan icon wajah terbahak-bahak! Selanjutnya kupasang messengerku dengan ‘busy’ dan memutuskan berhenti ber- YM-an dengan pujangga kesiangan itu. Selanjutnya aku tenggelam di depan komputer. Larut, hingga dering telepon menghentikanku. Kulihat layat ponselku menampilkan nomor telepon rumah.

“Ya, siapa ini? Dede Dana atau Kaka Mutiaaa??”

“Kakak, Maaa...,” suara cempreng sulungku terdengar di sana. “Mama udah makan siang belom??”

Aku melirik jam dan tersenyum. “Iya sebentar lagi Mama pasti makan siang. Kakak sama Dede udah makan?”

“Udah, Maaa...! Tapi Dede nggak habis, tuh. Maunya main pe-es teruss.. Mbak sampe repot bujuknya.”

“Kakak dong yang bantu bujuk!”

“Dede ngambek...! Soalnya di sekolah tadi Dede dimarahi Bu Guru.”

“Lho? Kenapa? Nakal, ya?”

“Bukan! Tapi Dede nggak bikin pe-er!”

Bless. Darah yang mengalir di tubuhku serasa mendadak dingin. Kakiku lemas. Perasaan menyesal menyergapku bertubi.

“Waah.. iya, Mama lupa semalam mengingatkan kalian bikin pe-er...!”

“Kakak sih udah bikin pe-er, sendirian, waktu Mama belum pulang kerja kemarin. Kalau Dede belum..”

Semalam aku pulang sedikit lebih terlambat dari biasa. Lelah, membuat aku langsung rebah begitu tiba di rumah. Bahkan tak sempat mengecek lagi apakah anak-anak sudah membuat pe-er atau menyiapkan keperluan sekolah mereka. Dan ini bukan yang pertama Dana dihukum karena tidak membuat pe-er!

“Mama mau bicara sama Dana. Mama mau minta maaf...”

“Dana bobo, Maa.. baru aja! Ya udah, Mama jangan lupa makan siang. Nanti Kaka bilang ke Dana kalau Mama minta maaf..”

“Iya, makasih, Sayang!”

Aku tergugu. Rasanya aku tak bisa memaafkan kesalahanku.

Lalu sebuah sms muncul di ponselku. “Pagiku, makan siang bareng, ya?”

*

“Oke, cuma makan siang dengan seorang sahabat?”

Aku menatapnya setengah jengkel. Tepat pukul 12 siang dia muncul di ruanganku dan nyelonong ke mejaku.

Dia pernah bekerja di sini enam bulan lalu dan kami rekanan. Membuat dia begitu kurangajar bisa berseliweran di kantor ini, yang memang sudah begitu familiar dengannya. Dia salah satu wartawan terbaik kantor ini dulu dan semua sangat akrab dengannya. Melihat kecemasan di wajahku dia cepat-cepat berujar.

“Don’t worry, mereka semua tahu tahu dan nggak akan ada muncul komentar-komentar yang kau takutkan itu. Mbak tahu kan, aku akrab dengan semua orang, bahkan bencong di bagian dapur itu!”

Yang dia maksud bencong adalah kepala catering kantor ini, yang dulu adalah teman berantemnya. Dia memohon dengan dua tangan di dada dan akhirnya aku mengangguk.

“Yess!” ujarnya. Dan aku meninju punggungnya.

*

Tak ada yang aneh dalam persahabatan kami sejak kami masih satu kantor. Dia baik, lucu dan sangat penolong. Kepada semua orang tentunya. Tapi sejak dia pindah ke kantor lain, dia muncul di hari-hariku lewat sms, tlp dan messenger! Bukan lagi sebagai rekan kerja atau sahabat. Dia menawarkan sesuatu yang kuanggap aneh.

“Mau kupilihkan makanan pembuka?”

Aku menggeleng. “Aku nggak yakin dengan pilihan kamu!”

Dia tertawa. Siang itu akhirnya kami makan bersama.

“Sudah Desember, Mbak. Tahun akan berganti..,” ujarnya ketika makan siang kami usai dan di depan kami terhidang sepiring kecil pudding jeruk.

“Aku datang dengan tawaran yang tidak berubah!.”

Aku menatapnya sebentar. “Geblek lo! It is real life, Sandy!”

“Usiaku 32, Mbak! Laki-laki, setelah melewati 27, adalah laki-laki yang menuju real life.”

Aku menunduk. Dadaku tiba-tiba berdebar halus. Setelah enam bulan aksimu, seminggu ini segala kata-kata kamu telah berhasil mengganguku, Sandy, bisikku dalam hati.

Sandy mengetuk meja membuatku mendongak, “Mbak masih kekeuh bilang bahwa Mbak nyaman dan bahagia bersama anak-anak?"
Aku diam.

“Aku pun tetap kekeuh dengan pilihanku. Bahwa aku memilih Mbak!” ujarnya santai.

Aku meneguk lemon tea-ku. Sejak dia pindah kantor aku benar-benar baru sadar kalau laki-laki geblek ini keras kepala!

Sebagai rekanan saat itu, aku bersahabat baik dengan Sandy. Dan sebagai rekan kerja kami seringkali makan siang bareng atau sekedar ngopi di kafe sebelah kantor setelah deadline. Ketika Sandy hengkang dari kantor ini, persahabatan kami masih berlangsung baik, meski nyaris tak pernah lagi makan bareng. Merasa sudah sangat tahu tentang aku, tiba-tiba dia dengan nekadnya memilih untuk melabuhkan cinta padaku enam bulan yang lalu! Sinting! Aku single parent dengan dua anak yang masih kecil-kecil sementara dia bujang dengan karir cemerlang!

“Apa yang salah?” tanya dia waktu itu, “aku sangat mengenal Mbak dengan baik dan aku menyukai anak-anak Mbak. Umur? Karir? Bibit, bebet, bobot?”

“Ya, kalau kamu belum sinting, kamu pasti udah mikirin hal-hal itu!”

Aku menyuruhnya introspeksi dan memikirkan lagi segala ucapannya, hingga kami tak ada kontak selama tiga minggu. Hebatnya kemudian messenger, sms dan tlp-nya muncul lagi dan semakin bertubi-tubi. Sopan. Tapi tetap bagiku tak layak! Bagiku dia brondong sinting yang mengejar janda beranak dua dan lebih tua darinya 5 tahun! Nekat!

“Aku sudah memikirkan semuanya. Dan Mbak memiliki semua yang ada di benakku!” Sandy selalu bilang begitu.

Ah... Geblek bener dia!

“Tambah ya, lemon tea-nya?”

Aku tergelak. Meredakan debar di dadaku membuatku tak sadar kalau aku sudah menghabiskan isi gelasku!

“Pudingnya enak!” Sandy berkata dengan mulut penuh dan mengangsurkan piring puding ke depanku. “Coba..?” Dia membawa potongan puding di atas sendok ke arah mulutku!

Aku menggeleng, tapi sendok itu tak berpindah. Akhirnya aku pasrah disuapi begitu! Agak risih, malu, tapi diam-diam aku menikmatinya. Terutama saat Sandy menyentuh rambutku yang jatuh ke dahi dengan ujung jarinya. Sial!

“Oke, begini aja..., kita mulai dari awal. Bahwa aku sahabat Mbak.., mm.. kita buang sebutan Mbak, ya? Kan aku bukan bawahanmu lagi..!” Sandy tersenyum, “bahwa aku sahabatmu. Aku datang dengan segenap hati dan tujuan baik.., kumohon buka pintu hatimu. Lihatlah bahwa kamu sudah melewati dua tahun yang sepi!”

Aku menggeleng meralat kalimatnya.

“Oke, dua tahun yang.. hanya bersama anak-anak!” ujar Sandy lagi. “Aku tahu kamu kuat dan bisa. Tapi apa salahnya kalau aku datang untuk membantumu melalui hari-hari kalian yang beraneka warna. Apa salahnya aku datang sebagai pelengkap. Aku tak bisa menggantikan posisi siapapun di hati kamu dan anak-anak, tapi aku bisa menempatkan posisiku sebagai teman kalian. Kumohon..!”

Ini yang ketiga kalinya kalimat itu keluar dari mulut Sandy, tapi untuk yang pertamakalinya dia memohon di atas lututnya! I’m beg on my knee, sebuah kalimat indah yang nyaris sudah aku lupakan! Aku meleleh. Tapi aku harus teguh.

“Jangan terlalu jauh berpikir. Kita ambil santainya aja, ok?!” Sandy tahu betul kalau aku tegang. Sumpah dia sangat tahu hampir segala hal tentang aku! “Selama aku, kita, bisa menjalani ini bersama-sama, lets do it! Kita isi kesempatan yang ada dengan hal-hal baik, karena aku datang untuk menemani kalian bukan untuk semakin mengacaukan hidup kalian!’

Ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Dari Mutia, putriku.

“Mama udah makan siang?? Jangan sampai hari ini Mama telat makan lagi karena kesibukan Mama. Mama tahu, Mama harus punya teman baru untuk mengingatkan makan siang, juga mengingatkan aku dan Dana bikin PR!”

Mataku basah. Aku boleh lantang berkata bahwa dua tahun lebih akulah wanita perkasa. Tapi kalimat Mutia telah membuat aku lunglai.

“Ayo, habiskan pudingnya! Lalu kamu harus kembali ke kantor, Pagiku!” Sandy menyodorkan lagi sendok ke arah mulutku. Dan matanya telah begitu sarat kasih sayang saat aku menatapnya. Memancarkan kedamaian yang selama ini dia janjikan.

Pulang ke rumah nanti, aku mungkin akan berkata pada Mutia dan Dana. Bahwa Mama mereka adalah wanita perkasa. Tapi Mama mereka memang perlu seseorang untuk membantu mengingatkan mereka bikin PR!**


Di muat di majalah Kartika edisi 71, Juni 2009
Untuk permata-pemataku....

Gerimis dan ssssss

Belakangan Jakarta hujan lagi. Gerimisnya bikin miris sebagian orang yang benci dengan rintiknya yang giris. Karena gerimis malah lebih ‘tragis’ ketimbang hujan deras. Setidaknya itu bagiku tentang gerimis.

Dulu, aku suka gerimis. Rintiknya bikin suasana romantis. Membayangkan duduk berdua kekasih sambil minum teh hangat menikmati rinai gerimis dengan tawa canda yang manis. Tapi gerimis juga sempat membuatku pilu, ketika suatu kali aku mendapati kekasihku itu bergerimis-gerimis dengan wanita lain yang wajahnya jauh lebih manis. Hatiku teriris. Tapi itu dulu, 10 tahun lalu. Saat aku masih cantik, sexy dan sangat narsis.

Sekarang, ada seseorang di ratusan kilo sana. Stasiun Tugu dan gudeg manis yang ingin sekali bisa segera kusambangi dengan cinta seluas samudera yang tak kan habis. Aku ingin segera bisa terbang ke sana, membawa sejuta senyum manis dan segala janji yang kerap terurai di antara rindu yang berusaha tak terkikis. My Beib, selalu itu yang kerap berdesis.

Gerimis…… harusnya tak membawaku pada tangis. Ketika suatu kali aku mendapati kabar kematian Bapak di tengah gerimis di mana saat itu aku tengah berjuang di ujian akhir di belahan kota lain yang terkenal dengan gadis-gadisnya yang geulis. Dan pemakaman Bapak yang berlangsung setelah Jumatan, juga diiringi gerimis…. Juga saat kelahiran bungsuku yang nyaris membuat darahku habis over dosis di dini hari yang pekat dengan gerimis.. pun ketika sulungku tertabrak motor saat hujan meninggalkan sisa gerimisnya, dengan meninggalkan luka di sekujur badan dan 3 jahitan di pelipis dan ia harus melalui 1 minggu dengan kesakitan dan tangis..

Belakangan, aku aku tak suka gerimis. Bukan karena hal-hal pilu tadi hingga membuatku berpikir tak logis. Tapi karena rintiknya bikin aku flu, biduran dan itu bikin aku menangis. Kulitku yang mulus jadi seperti teriris-iris karena gatal alergi dingin dan rintik gerimis. Ah, aku tak suka gerimis, karena tak akan menjadi romantis, tapi malah melankolis.

Aku lebih suka hujan deras –tentunya yang tanpa suara petir.
Dan juga yang tanpa membawa banjir.


Selalu ada yang ingin aku tulis,
saat DL benar-benar bikin meringis…
di Jumat, 15 Januari 2010 yang bergerimis

Jangan pergi, Cinta

Jejak lima menguap di akhir sapa
Tak lagi beri pijak pada tuturan kata
Yang berakhir dengan tanya,
"Mengapa"

Jika masih ada
Cuplikan asa di dada dan di kepala
Mungkin cukup meminta,
"Jangan pergi, Cinta"

Usaikan senja
Tanpa beri lagi jejaknya
Saat dengan lapang kuberkata,
“Tak mengapa!”



Februari 3, 2010