Aku melihat lagi laki-laki itu. Di kafetaria Legong, tepi pantai. Di senja kedelapan, yang merambat, menghantar temaram yang syahdu. Di tempat di mana wangiku bertebar. Masih dengan rahang yang mengeras, masih dengan mata yang menerobos sampai ke jantungku. Cuma tiga-empat detik, tapi bagai panah yang melesat dan bola mataku berdarah.
Kemarin-kemarin aku selalu membuang pandang akhirnya. Mataku bisa berdarah karena tikamannya, bagaimana dengan tubuhku? Bayangan dia pecinta yang brutal mengepung kepalaku. Maka kemarin-kemarin aku menyisiri tepian pantai ini untuk menghindarinya. Aku tak mau dia mendatangiku. Dia membuatku gemetar. Tidak, aku tak mau dia datang di malamku. Aku tak bisa menjadi bunga yang mewangi di dekatnya. Malah, aku bagai gadis ingusan yang melarikan diri begitu langkahnya mendekatiku. Laki-laki itu memang tak menyusulku. Membiarkan kaki-kakiku bergumul dengan pasir dan jilatan ombak, sendirian. Dia memang tak mengejar langkahku dengan kakinya. Tapi dengan matanya. Matanya bergerak mengikuti arah angin yang menerbangkanku dan dia tahu lebih dulu ke mana kakiku pergi!
Aku tak kuat dengan tikaman matanya itu. Dingin dan dalam. Tapi ada kilat api yang membakar. Meski dari jarak sekian meter, tapi aku tahu mata itu membelahku. Pernah aku tergesa, butir-butir pasir menjadi panas terasa di telapak kakiku di senja kala itu. Napasku bersahutan dengan debaran tak nyaman. Aku terus tergesa dan menghempaskan lelah dan gelisahku di bawah nyiur, melorot di batangnya dan terduduk lemas sambil memaki dalam hati.
Beberapa kali itu, aku tergesa melarikan diri dari tikaman matanya. Sejak senja pertama hingga senja kelima aku bagai perempuan malang yang dikuntit dengan matanya. Di senja keenam aku mulai merasa bodoh! Harusnya biar saja. Biarkan dia puas menghujaniku dengan tatapannya yang membakar itu. Karena nanti dia yang akan terbakar sendiri! Aku bisa membuat laki-laki meleleh. Aku bisa meletupkan gelora. Aku selalu membuat malam benderang dengan api asmara. Laki-laki itu, dia pasti tahu kenapa matanya terus mengikuti!!
Senja ketujuh, aku harus profesional. Kerlingan dan senyuman adalah modal pertama yang harus aku tebar, seberapa pun galaunya perasaanku. Lenggang gemulai dan mengundang akhirnya kupampang untuknya. Maka di senja kedelapan ini, ketika aku kembali bertemu dengannya, mata yang menerobos membelah jantung itu kutantang. Aku yakin dia menginginkan malamku. Di detik kesebelas atau duabelas, dia yang membuang pandangnya!!!
Hah!! Dia ternyata hanya punya duabelas detik!
(Selengkapnya klik judul di atas/ harian Fajar Makasar ed 12 April 2009)