Mengenai Saya

Foto saya
Simpang-siur... Kadang2 bikin bete. Tapi sebenarnya bisa jadi teman yang mengasikkan. Sebagaimana Virgo, aku itu perasa dan pencemas. Itu yang seringkali bikin aku panik, meski herannya di kesempatan lain aku bisa sangat easy going.....

Dua Hal Sepanjang Jalan Pagi Tadi

Dari kaca angkot yang buram, di seberang jalan sana aku melihat seorang gembel melahap makanan dalam kantong plastik dengan rakusnya. Aku tidak tahu apakah makanan itu dia dapat dari pemberian seseorang atau didapatnya dari mengais sisa (kebetulan dia berada di dekat tong sampah sebuah warung makan). Aku tergidik. Lebih-lebih saat melihatnya masih menjilati plastik itu, seolah tak ingin melewati sisa makanan yang menempel sedikitpun. Laki-laki itu, meski kurus kering dan sangaaaat dekil, kondisinya masih sehat tegap, tanpa cacat. Usianya mungkin sekitar 40 tahun. Caranya menjilati plastik itu sungguh menggambarkan betapa dia kelaparan. Kalau aku tergidik, itu bukan karena aku merasa jijik. Sebaliknya, rasa kasihan begitu menderaku. Teringat betapa banyak makanan yang terbuang di rumah dan betapa kami begitu mudah membeli makanan apa pun.
Kemudian aku membuka dompetku dan mengambil selembar limaribuan. Sangat sedikit, tapi aku harap berguna baginya untuk sekedar membeli nasi. Uang itu sudah terkepal di tanganku, tapi kemudian angkot yang membawaku melaju tiba-tiba dengan cepatnya. Ahh, aku menyesal. Tak sempat memberikan uang itu padanya.

Ya, Rob... limpahkan kemudahan dan rejeki untuk umatMu yang membutuhkannya.

Angkot terus melaju. Bayang gembel itu masih lekat di mataku. Aku tak tahu harus menyebutnya apa. Pengemis? Belum tentu, karena aku tak melihatnya mengemis. Gembel? Ya, mungkin.
Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa jangan mudah kasihan pada gembel atau pengemis yang masih muda dan sehat. Mereka itu pemalas. Bisa iya, bisa tidak.
Memang banyak sekali orang yang 'lebih suka' mengemis ketimbang jadi buruh, kuli panggul atau pemulung. Hasil dari mengemis bisa untuk makan seharian tanpa harus kerja keras.
Tetapi aku juga pernah mendengar bahwa menjadi kuli panggul atau pemulung, tak semudah yang dibayangkan. Artinya, mereka pun harus bersaing. Banyak kuli-kuli 'asli' yang tak bisa menerima kehadiran kuli 'baru'. Para kuli 'asli' itu punya wilayah kekuasaan yang tak ingin area-nya dimasuki anggota baru karena akan berakibat mengurangi pemasukan mereka. Begitu juga kalau kau menjadi pedagang asongan bahkan pemulung.
Dan gambel tadi..., ah aku tidak tahu pasti apakah dia korban dari ketidakberdayaan atau sama seperti yang lain, lebih suka mengais rasa iba orang lain.
Entahlah. Yang pasti jika memang kita berniat menolongnya, abaikan latar belakang dan sebab musabab kenapa orang bisa menjadi seperti itu.

Angkot terus melaju. Di dalamnya ada 4 penumpang. Aku, seorang bapak berbaju lusuh, seorang ibu yang cantik dan anak muda.
Bapak berbaju lusuh itu bertanya kepada supir angkot, di mana Desa Pondok Kacang. Si sopir menjawabnya selintas. Ibu cantik yang duduk di depanku ikut menyahut, memberi petunjuk kepada si bapak. Si bapak cuma mengangguk lugu dengan mata kosong.
"Turun di perempatan lalu naik angkot lagi?" matanya cemas. "Masih jauhkah letaknya dari tempat saya turun nanti?" tanyanya lagi.
"Ya," akhirnya aku menyahut, "Naik angkot lagi, Pak. Nggak terlalu jauh sih paling bayarnya duaribu."
Si bapak pucat. Dan si ibu cantik bertanya, "Bapak mau ke mana? Ke rumah anak?"
Berturut-turut pertanyaan meluncur dari si ibu cantik. "Alamatnya tahu? Nomor teleponnya?"
Si bapak menggeleng. "Udah saya tulis alamat dan nomor teleponnya di kertas. Ehh, tadi di tengah jalan ilang."
Kami semua terdiam.
"Saya bawa ongkos pas-pasan dari kampung. Trus nyasar-nyasar terus, sampai habis ongkos saya," katanya lemah.
Lagi-lagi kami semua terdiam.
Lalu si ibu mengingatkan bahwa si bapak harus turun karena sudah sampai di perempatan untuk kemudian harus menyambung dengan angkot lain. Si bapak mengucapkan terima kasih dan turun. Sambil lirih berkata, "saya jalan aja. saya sudah kehabisan uang..." dia pun berlalu.
Kami semua terkesima. Angkot pun melaju.
Tiba-tiba aku dan si ibu saling pandang seperti menyadari sesuatu. "Gimana tuh? Dia gak punya uang lagi...."
Tetapi angkot sudah melaju kencang.
Sesaat kemudian si ibu di depanku berkata, "Kasian... cuma jadi serba salah ya. Soalnya banyak yang bohong, pura-pura uangnya ilanglah, kecopetanlah... Sekarang banyak banget yang kayak gitu..."
Aku tersenyum getir. Seperti di atas tadi jika memang kita berniat menolongnya, abaikan latar belakang dan sebab musabab kenapa orang bisa menjadi seperti itu. Bahkan abaikan juga kecurigaan kita. Supaya bantuan kita menjadi ladang amal buat kita sendiri.

Hmm...

Pagi tadi, harusnya aku sudah melakukan dua kebaikan. Kepada si gembel dan bapak berbaju lusuh. Sayangnya, tak satu pun yang terlaksana. Entah karena aku yang kurang sigap bertindak, atau kondisi yang belum mengijinkan aku berbuat kebaikan. Atau karena aku yang penuh perhitungan? Masya Allah....
Yang pasti, aku menyesal, telah melewati satu hari di hari terakhir di 2010, dengan hanya 'melihat' dan merasa kasihan, tanpa tindakan apa pun.

Ampuni aku, Ya Rob....
Semoga masih ada kesempatan untuk aku berbuat kebaikan....

Ke Bengkel Sepeda yang Tertunda

Hari ini aku begitu lelah...
Bukan karena aku habis mengubek-ngubek email untuk mencari naskah, atau mengedit puluhan naskah. Tapi lelah bercengkrama dengan resah. Karena suatu hal, aku harus kehabisan uang. Gajiku tiga hari lalu sudah ludes. Gajian berikutnya masih 27 hari lagi.

Ini liburan semesteran. Bulan lalu, setelah tabunganku cukup, aku membeli sepeda untuk anak-anakku, karena aku ingin mereka bisa mengisi libur dengan main sepeda. (Oya, bukan karena membeli sepeda ini hingga gajiku ludes, bukan. Sama sekali bukan. Sepeda itu kubeli dengan menyisihkan uang gaji sedikit demi sedikit sejak 3 bulan lalu. Bulan ini gajiku ludes karena suatu hal). Sayangnya baru dua minggu sepeda itu menjadi milik mereka, kunci rodanya agak kendor, sehingga sulit bila dipakai membelok. Alhasil sudah satu minggu sepeda itu nganggur di ruang tengah. Aku belum sempat membawanya ke bengkel sepeda dan tidak bisa membetulkannya sendiri, terutama aku tak mengerti pekerjaan 'tukang' selain mengganti lampu (itu pun dengan takut-takut kesetrum).

Aku sedih melihat sepeda yang aku beli dengan menyisihkan uang gajiku susah payah, teronggok begitu saja. Sedih karena anak-anakku tak bisa menggunakannya lagi. Aku berjanji pada mereka untuk membawanya ke bengkel, tapi sampai saat ini belum terlaksana. Aku menghibur mereka dengan mengajak berenang di kolam renang dekat komplek rumah kami. Murah meriah.

Hari Sabtu dan Minggu kemarin, bertepatan dengan Natal, Kakak, Ibu dan Ponakan datang. Jadi acara ke bengkel sepeda tertunda lagi. Ketika aku membeli banyak makanan untuk jamuan itu, Kaka, berbisik, "Ma, uangnya kan buat ke bengkel sepeda? Kok buat beli makanan banyak? Pake pesen pizaa, pesen rujak, pesen... duh, Mama....."
Aku tersenyum dan balas berbisik, "Nggak apa-apa, kan Uwa, Eyang dan Mbak Kansa jarang-jarang ke sini, jadi kita harus menjamunya."
"Tapi..., nanti uang buat ke bengkel sepeda habis dong?"
Aku menggeleng, "Akan ada rejeki lagi, Nak."
Kaka memelukku. Katanya, "Aku tahu Mama adalah mama yang hebat. Meskipun nggak punya uang tetap aja bilang ada rejeki lagi nanti..."

Amin...

"Due Date".... Jangan Percaya Kesialan akan Mengisi Harimu Seterusnya....

Selain membaca, aku suka menonton film. Belakangan membaca malah menjadi hal yang membosankan dan membuat mataku lelah, sehubungan dengan pekerjaanku sebagai editor majalah kumpulan cerpen. Belakangan juga aku menghindari membaca (kecuali membaca naskah untuk persembahan majalahku). Aku lebih memilih menonton. Kalo tidak di bioskop (itu pun kalau ada teman yang mengajak nonton), aku membeli dvd bajakan. Sebenarnya aku lebih suka film drama. Entah drama romantis ataupun drama komedi. Tetapi okelah kalau drama thriller atau action kungfu mandarin.... Asal jangan Horor apalagi animasi. Horor kuhindari karena aku penakut (terlebih aku hanya tinggal bertiga dengan anakku -ups berempat dengan si mbak). Animasi, kuanggap kekanakan... yahh walaupun akhirnya aku terpesona dengan Avatar.

Beberapa hari lalu aku menonton Due Date. Film drama komedi yang membuatku larut dengan kekesalan akibat kisahnya. Bayangkan, sejak bertemu seseorang di bandara, sang tokoh (alahh aku selalu lupa nama tokohnya dan bintang filmnya!) tertimpa banyak kesialan yang diakibatkan si orang asing yang sungguhbila aku bertemu dengannya ingin kubunuh karena menjengkelkan. Sang tokoh benar-benar menderita lahir batin tetapi dia tak bisa lepas dari si orang asing karena kondisi.
Di akhir cerita, semua berubah mejadi mengharukan. Itulah kehebatan sang penulis, mampu mengaduk perasaan penontonnya.

Usai menonton film itu, aku membahasnya diam-diam di dalam hati. Bahwa ketika kesialan menimpa kita, ambil sisi positifnya. Bahwa kesialan bisa terjadi pada setiap orang. Siapa pun dia. Orang terkaya, selebritis atau tokoh hebat.
Kita tak bisa menghindar kala kesialan menimpa, tapi kita bisa belajar berbesar hati dan mengambil hikmahnya.

Dan jangan pernah percaya, bila hari diawali dengan sebuah kesialan maka hari itu akan terus berlanjut dengan kesialan berikut, kecuali jika kamu mensugestikan hal itu, tentu itu akan terjadi. Maka jangan percaya.
Jangan...

Tiga Wanita di Angkot

Kemarin, di sebuah pertigaan dekat Pasar Cileduk, tiga wanita naik ke angkot yang membawaku ke Cileduk. Aku dalam perjalanan menuju kantor pagi yang terang benderang itu. Tiga wanita paruh baya itu, masing-masing membawa kresek berisi buah pisang. Tidak banyak. Tapi untuk ukuran mereka, tentulah berat membawa kresek penuh pisang, mungkin masing-masing kresek berisi 3-4 sisir pisang. seorang di antaranya nampak jauh lebih tua lagi usianya. tubuhnya sudah membungkuk. Kulit muka dan tubuhnya jauh lebih kriput dibanding dua wanita lainnya. Entah apakah mereka bersaudara atau sekedar tetangga yang berbelanja bersama. Di dalam angkot ketiganya berbicara degan logat Betawi. Lucu, karena salah satunya ada yang 'ngedumel' dengan bahasa Betawi yang kental. Mereka masih sangat sehat. Wajahnya cerah. Gerakannya pun masih gesit untuk ukuran usia mereka yang aku perkirakan 60 tahun (untuk dua wanita yang lebih muda) dan 70 tahun (untuk 1 wanita yang lebih tua). Mata tua mereka berpendar cerah. Tak ada beban di sana. Aku yakin mereka berbahagia. Kenapa? Cara mereka bercengkrama dan membahas sesuatu begitu santai dan 'elegan'. Elegan? Ya, karena tak ada keluhan di dalamnya meski ada kalimat, "nih kite belanja pisang ndiri yak? Ke mane sih si Ntong ntu? Dasar maen mulu... Nih pisang kan buat acaranye die." dan yang lain menimpali, "biarin aje, ntar kite suruh die mijitin kite." Lalu ketiganya tertawa bersama.

Indahnya...

Aku teringat ibuku. Usianya akan 60, Agustus tahun depan. Tetapi sepanjang 10 tahun terakhir, ibuku sering mengeluh sakit ini-itu dan wajahnya tak berseri seperti mereka. Ibuku memang banyak menderita sepanjang hidupnya.
Ah, aku berharap masih sempat membahagiakannya...

Di pertigaan Cileduk, tiga wanita itu turun. Aku juga. Meski tubuhnya bungkuk, wanita yang paling tua itu tak membutuhkan bantuan saat akan turun dari angkot, dia hanya sedikit berhati-hati melangkah. Dua wanita yang lain berulangkali mengingatkan, "Emak Haji, ati-ati. Emak Haji, awas jatuh!" Mendengar sebutan itu aku berkesimpulan mereka hanyalah tetanggaan.

Mereka pergi ke arah berbeda dengan arahku. Aku melanjutkan dengan bus menuju kantor.
Di dalam bus, bayangan tiga wanita itu berpendar di mataku.

Semoga ibuku selalu sehat, berbahagia, sama seperti tiga wanita itu. Semoga masa tuaku kelak juga sehat dan berbahagia, meskipun ukuran bahagia itu sendiri berbeda untuk setiap orang.

Amin...

Setelah Menonton The Next Three Days

Terkadang aku merasa sudah sempurna dengan keadaanku sekarang. Sempurna untuk diriku sendiri, tetapi aku tidak tahu apakah sudah sempurna untuk orang lain, terutama anak-anakku. Kami hanya bertiga di rumah. Aku dan dua putri cantikku. Aku berbahagia, meski harus membanting tulang sendirian dan menjadi ibu sekaligus ayah untuk anak-anakku. Aku mendampingi mereka mengerjakan PR, bermain, mendongeng sebelum tidur dan mendekap mereka saat mereka ketakutan atau bersedih. Dekapan itu sekaligus juga mengusir ketakutan dan kesedihanku sendiri.

Aku merasa baik-baik saja. Pun ketika Hari Ibu aku hanya mendapat pelukan dan hadiah kecil dari dua putri cantikku itu. Merekalah surgaku.

Sampai kemudian saat seorang teman 'menculikku' untuk menonton film The Next Three Days.
Film yang akhirnya membawa emosiku pada sebuah bentuk 'kehilangan' atau 'tak sempurna'.
Film itu menceritakan perjuangan seorang suami dalam membela istrinya yang didakwa membunuh seseorang. Si suami sangat mengenal siapa istrinya, hingga dia melakukan berbagai cara 'ajaib' untuk bisa membebaskan sang istri, belahan jiwanya. Cinta yang begitu besar. Yang membawaku menitikkan air mata dan keadaan bahwa sesungguhnya aku kehilangan sosok itu. Sosok hero dalam rumah tanggaku, dalam rumah kami, dalam hati kami, aku dan anak-anakku.

Baiklah, aku tak boleh terbuai... Itu hanya sebuah film, bukan.
Tapi sekali lagi, aku harus mengakui, aku tertohok.

Selesai menonton film itu, aku terdiam.
Kesunyian pelan-pelan melingkari, pun ketika aku tiba di rumah.
Memeluk dua bocah kecil yang menyapaku berebutan. "Mama pulaaaang.... aku senang Mama pulang. Ada Mama hatiku senang, tenang dan aman," ujar Kaka. Dede melanjutkan, "Tadi hujan besar, Ma. Takut... Sekarang ada Mama, biarpun ada gledek, Dede gak takut lagi. Kan bisa peluk Mama."

Baiklah, aku tak boleh terbuai lagi. Aku adalah hero untuk mereka...