Mengenai Saya

Foto saya
Simpang-siur... Kadang2 bikin bete. Tapi sebenarnya bisa jadi teman yang mengasikkan. Sebagaimana Virgo, aku itu perasa dan pencemas. Itu yang seringkali bikin aku panik, meski herannya di kesempatan lain aku bisa sangat easy going.....

YANG TAK BISA

“Kamu tolol banget, sih!”

Ya, ampun! Kenapa juga kuntilanak jelek ini muncul sambil sewot begitu? Alis Cemara bertaut.

“Kamu udah ngelewatin satu kesempatan emas, Ara! Duuh, bego amat sih!”

“Na?” Cemara menempelkan punggung tangannya ke kening Nana. Tapi Nana cepat menepisnya.

“Kasihan Riko dong, Ra!” cetus Nana lagi.

Bibir Cemara membentuk bulatan kecil. Mengerti dia. Segala hal tentang Riko dengan mudah mempengaruhi emosi Nana. Sayang betul Nana dengan sahabatnya itu. Dan Nana pasti tahu soal penolakannya akan ajakan Riko tentang makan malam kemarin.

“Kenapa? Bukan karena kamu nggak punya baju bagus atau kamu lagi nggak enak badan, kan?”

“Aku lapar!” Cemara malah menggandeng sahabatnya itu ke arah kantin, “kita makan bakso, ya?”

“Ra!” Nana melotot.

“Aduh, ini siang bolong, Na. Ngapain sih, marah-marah?”

Nana menarik napas dan menghembuskannya kasar.

“Mmm,” Cemara mendelik dengan senyum di ujung bibirnya, “Jadi kamu lebih sayang Riko daripada aku?”

“Aku sayang kalian! Tapi kamu sering ngecewain dia. Kasihan, kan?”

“Memang dia ngadu apa ke kamu?”

“Dia nggak pernah ngadu apa-apa. Tapi aku punya mata dan kuping yang banyak untuk hal-hal yang menyangkut sahabat-sahabatku.”

Cemara mendengus. “Tapi aku belum siap jalan berdua aja. Apa lagi untuk makan malam.”

“Yeaah, kita selalu jalan bertiga.” Nana cemberut. “Riko itu baik dan sabar! Dia suka kamu. Dia cinta berat sama kamu. Kamu sendiri pernah bilang kalo kamu juga suka dia. Apa lagi?”

“Aku kan perlu waktu, Na.”

“Sampai kamu benar-benar bisa ngelupain Kim?” decak Nana, “Dia udah nyebur ke laut, Ra! Udah dimakan hiu!”

Cemara tersenyum kecut.

*

Nana, sahabat sekaligus teman satu kelasnya itu mengenalkannya pada Riko, dua bulan lalu. Sejak itu mereka selalu bertiga. Sampai kemudian lewat Nana Cemara tahu tentang perasaan Riko.

Riko memang baik. Selain tampan dan berotak cemerlang, Riko adalah orang yang menyenangkan. Alasan yang bagus bagi Nana untuk membujuknya membuka hatinya buat Riko. Ya, apa lagi yang kurang dari Riko? Pernah juga –secara becanda- Cemara mengatakan kalau dia juga suka Riko. Tapi kalau untuk membuka hatinya dan menerima cinta Riko, Cemara terpaksa menggeleng kuat-kuat. Dia belum siap untuk hal satu itu.

“Cuma makan malam aja, Ra! Selama ini kita kan selalu bertiga. Nonton, belanja, cari buku..” bujuk Nana lagi siang tadi “Kamu perlu waktu buat berdua. Sekali, dua kali.., sampai kemudian kamu bisa menerima dia pelan-pelan. Aku yakin, kamu bisa jatuh cinta beneran sama dia! Ayolah, Cuma makan malam. Apa susahnya?”

Memang nggak susah. Tinggal ganti baju terus cabut. Lalu duduk manis di dekat Riko yang tampan!

Bukan itu masalahnya. Tapi bagaimana kalau tiba-tiba Riko mengutarakan perasaannya. Tentang tiga kata sakti yang paling ditakutinya.

“Dia nggak akan ngomong soal itu di makan malam pertama kalian! Percaya, deh. Dia bukan tipe gegabah.”

“Tapi artinya aku udah menanam harapan buat dia, kan?”

“Jalani aja dulu, Ra!”

“Kenapa sih kamu ngebet amat jodohin aku sama dia?”

“Kupikir kalian punya banyak kesamaan. Tapi satu hal pasti, karena kalian sama-sama pernah disakiti.”

Cemara menarik napas dalam-dalam. Merapatkan piyamanya tanpa beranjak dari duduknya di beranda samping. Langit lengang dengan hanya beberapa bintang nun jauh di sana. Mata Cemara mengerjap. Menatap satu persatu pijaran cahaya-cahaya itu. Apakah salah satu di antaranya dapat melihat Kim yang jauh di sana, di belahan timur negeri ini?

Cemara menarik nafas lagi. Apa kabar laki-laki itu? Apakah dia masih ingat pada kata-katanya sendiri sebelum pergi dulu?

“Kamu bisa lihat bintang-bintang itu kalau kangen aku. Bintang-bintang itu akan menyampaikannya ke aku.”

“Kok bisa?”

“Langit itu luas. Dia menyimpan segala rahasia hati manusia. Dan bintang-bintang itu yang mengutarakannya pada kita.”

“Waw, sentimental amat, sih!”

“Dan bintang-bintang itu juga akan menyampaikan rasa kangenku ke kamu.”

“Tapi kamu akan kembali kan, Kim?’

“Ya.”

Tapi ternyata tanah Maumere telah menenggelamkannya. Dua tahun berlalu dan tanah Maumere seakan tak mau mengembalikan Kim padanya! Cuma tiga pucuk surat dan empat dering telepon di dua bulan pertama sebelum dia benar-benar raib!

Masihkah Kim mengingatnya, atau setidaknya pernahkah? Satu atau dua kali saja?

Cemara menebarkan pandangnya lagi ke atas. Memilih satu bintang yang paling terang. Menatapnya lama. Dan seolah tengah berbicara padanya, diungkapkannya segala tanya dan rindunya.

Tiba-tiba dia menggeram. Membuang pandangnya dan merutuki diri.

Sudah kali berapa dia begini? Berharap dan berdoa semoga Kim kembali? Mengurung diri dan berkhayal bahwa Kim masih miliknya? Masih mengingat dan mencintainya? Dan sudah kali keberapa dia akhirnya kecewa?

Shit! Dia begitu lelah.

*

“Kita mau makan es krim!”

Mata Nana mengerjap. Ada sorot setengah memaksa di sana.

“Dan es krim lezat itu nggak bakal jadi masuk perutku kalo kamu mengacaukannya!”

Cemara merengut.

“Aku harus pulang cepat. Kali ini tanpa aku, deh!”

Nana menyeretnya ke pojok.

“Kamu pikir Riko mau mentraktir untuk apa? Untuk mencari kesempatan supaya bisa lebih lama sama kamu!”

“Kamu bener-bener memanfaatkan aku, ya!” Cemara merengut.

“Katakanlah begitu!” Nana mengendikkan bahu tanpa merasa bersalah.

Tiba-tiba Riko sudah ada di belakang mereka.

“Gimana? Jadi? Yuk!”

Cemara cuma bisa menurut waktu Nana sudah menariknya masuk ke mobil Riko. Dan seperti biasa Nana akan setengah memaksa menyediakan tempat Cemara di depan, di sisi Riko.

“Es krim ini terkenal dari dulu, lho!” Riko menstarter mobilnya, “Dari jaman orang tuaku muda dulu. Kalian pasti ketagihan!”

“Tapi jangan lama-lama ya, Ko.” Ujar Cemara. Entahlah, sejak tahu isi hati Riko dari Nana, dia jadi merasa tak nyaman lagi.

“Kenapa? Kena tugas ngepel di rumah?”

“Kok tahu, sih?”

“Tenang, nanti aku bantuin nimba airnya!”

Cemara tersenyum. Dia suka gaya Riko yang santai tapi begitu dewasa. Diliriknya Riko sekilas. Dalam hal apa pun, dia sebanding dengan Kim. Tapi kenapa hatinya masih ragu untuk terbuka dan menerima kehadiranya?

“Dulu orang tuaku pacarannya di sini.”

Mereka tiba di sebuah resto kecil yang nyaman. Riko memilihkan tempat di sisi dekat kolam mungil berisi koi-koi lucu.

“Kok kamu tahu? Emangnya orang tua kamu selalu cerita soal masa pacaran mereka?” tanya Nana.

“He-eh. Tapi sebetulnya aku yang banyak nanya. Siapa tahu aku bisa belajar dari mereka.” Riko cengengesan.

“Belajar apa? Belajar untuk bisa memahami dan memperlakukan wanita, begitu?” kerling Nana, “Pantas banyak cewek jungkir-balik sama kamu!”

“Kata siapa ada cewek jungkir balik karena aku! Mungkin memang mereka itu pesenam! Hehe!” Riko geleng-geleng,

“Ada banyak cewek yang terpuruk, Riko. Yang gagal dapetin perhatian kamu!”

“Nggak, aku nggak pernah sengaja membuat mereka begitu. Aku berusaha nggak akan penah mempermainkan perasaan orang. Aku nggak bisa menyakiti siapa pun.”

Cemara menatapnya sekejap sebelum mengalihkan perhatiannya pada koi-koi. Nana tiba-tiba beranjak dari duduknya dan pamit ke toilet.

“Memangnya kamu pernah di sakiti, Ko?” Tanya Cemara ragu.

Riko menggeleng. “Mudah-mudahan nggak akan pernah!” Dia tergelak dan menatap Cemara. “Kalau pun ada yang menyakitiku, aku akan berusaha untuk tidak mengingatnya. Jadi aku nggak tahu siapa-siapa yang penah menyakitiku.”

“Semudah itu?”

“Tentu aja nggak, Ara!”

Cemara tercenung. Memainkan sendoknya.

“Kenapa, Ara?”

Cemara mengangkat wajahnya. “Sebenarnya aku juga takut kalau ada orang lain yang terluka karena aku.”

“Kalau yang kamu maksud soal penolakanmu tentang makan malam tempo hari...”

“Ya, di antaranya.”

“Ara, aku memang kecewa. Tapi aku nggak mungkin terluka cuma karena soal itu. Hei, aku dididik untuk menjadi orang yang berbesar hati.”

“Syukurlah! Tapi...”

“Mungkin aku akan bersiap-siap untuk satu hal lagi yang lebih hebat.”

Cemara menelan ludah. Satu hal lagi? Yang lebih hebat? Tenggorokannya terasa kering. Di depannya Riko menatapnya. Ada sesuatu yang akan terucap di mata itu dan mungkin sudah di ujung lidah. Ah, dia takut sekali. Takut untuk mengatakan tidak. Takut berbohong pada dirinya sendiri bahwa dia mulai menyukai Riko lebih dari kemarin-kemarin. Juga takut karena sisi hatinya masih menyimpan kenangan seorang Kim! Masih berharap kalau-kalau laki-laki itu muncul dan kembali mengisi hari-harinya.

Dan dia tersadar kalau Nana sudah terlalu lama meninggalkan mereka.

“Kemana anak itu?” ujarnya.

“Kamu membenciku, Ara?” Tanya Riko, tiba-tiba dan tak terduga.

Alis Cemara terangkat tinggi.

“Tentu aja nggak, Riko. Kenapa?”

“Tapi juga tidak menyintaiku, kan?”

Cemara sampai berhenti bernapas. Cara Riko mengungkapkan isi hatinya memang berbeda. Tentang tiga kata yang amat ditakutinya. Tapi tetap saja membutuhkan jawaban!

“Aku lelah, Ara. Aku nggak mau mengatakan ini sebenarnya dan akan menyimpannya. Tapi aku lelah. Dan aku tak peduli apa pun jawabanmu!”

Cemara menelan ludah.

“Dan semoga kamu pun lelah menunggu seseorang di sana, Ara. Setelah penantian panjangmu.”

Cemara ternganga.

“Maaf. Nana yang menceritakannya setelah kudesak. Itukah sebabnya kenapa kamu menjaga jarak? Kamu masih menunggunya? Masih setia berharap? Masih yakin bahwa suatu saat angin akan membawanya kembali?”

“Itu urusanku!” cetus Cemara tersinggung.

“Aku iri, Ara. Dan aku cuma berharap kamu lelah menunggunya dan mencoba membuka hati buatku.”

Cemara tergugu. Matanya basah.

*

Malamnya Cemara kembali tercenung di beranda. Kembali menatap satu-satu bintang di langit sana. Dan kembali berbicara pada mereka.

Sebetulnya aku lelah, Kim. Bisiknya pada bintang-bintang itu. Dan menyadari betapa aku begitu bodoh, membiarkan waktu terlewat dengan sebuah penantian yang tak pasti. Tapi cinta ini begitu besar. Kutelan segala gelisah, rindu dan caci maki. Kucoba yakin pada kekuatan cinta yang katanya bisa menyatukan dua hati walau terhalang benteng, jarak dan waktu. Tapi keyakinan itu seringkali terkikis dan nyaris habis. Cinta bukan cuma membutuhkan keyakinan.

Tolong, Kim. Untuk yang kesekian ribu kalinya, aku mohon. Kabari aku. Apa pun itu. Aku sudah menelan rasa sakit dari rindu yang terbendung. Aku sudah membendung keraguan dari cinta yang tak jelas. Ternyata rindu itu menyakitkan dan aku sudah begitu lelah!

Angin malam yang menerpa wajahnya yang basah terasa menggigit dingin. Cemara menghapus air matanya seiring dering telepon dan teriakan mama dari dalam.

“Telepon, Ra!”

Kalau itu dari Riko rasanya dia belum siap menerimanya. Tapi Mama tentu tidak mau tahu.

“Apa kabar, peanut?”

Peannut? Suara itu dan satu-satunya orang yang memanggilnya begitu adalah..

“Kim?”

Cemara gemetar menyebut nama itu. Setelah dua tahun?

“Ya, kalau memang masih ada nama itu di kepalamu!”

“Tentu saja, bodoh!” desisnya. Rasa senang yang meluap membuat matanya basah. “Dan aku berharap bisa memarahimu segera. Kamu dimana?”

“Masih di Maumere.”

Cemara tertegun sesaat. Segera membuang jauh-jauh angan yang sudah memenuhi kepalanya tadi. Ternyata jarak masih saja menghalangi!

“Katakan saja ada kabar apa?” ujarnya hampir menangis.

Sesaat sunyi.

“Kamu menelepon bukan untuk mengatakan kalau kamu kangen aku, kan?” suara Cemara pelan dan ragu.

Masih sunyi. Sesaat kemudian agak tersendat karena ragu terdengar suara Kim.

“Ara, seandainya pun aku mengatakan itu, kamu masih percaya?”

“Tentu aja nggak!”

“Ya, aku tahu. Aku salah.” Terdengar Kim menarik napas berat. “Sudah ada seseorang di sana, Ra?”

Gila! Cemara merutuk. Bahkan memikirkannya pun tidak. Oh, ingin sekali ia marah dan memaki. Ingin juga ditumpahkannya segala tanya yang selama ini mengganggunya. Tapi kemana kalimat-kalimat yang tersusun kala ia menatap bintang-bintang di langit itu?

“Ara, maafkan aku…”

“Untuk menelantarkan aku selama ini? Tanpa kabar apa pun?”

“Ara? Kamu..? Kamu selalu menungguku?”

“Kim! Tentu saja! Dan seperti janji kamu dulu, tentang bintang-bintang itu! Kamu lupa? Kamu bahkan nggak ingat kata-kata kamu sendiri!”

“Salah, Ara!”

“Salah? Oh, kalau saja aku ingat makian apa yang sudah kususun sejak dulu! Oke, Kim. Kuberikan kesempatan kamu untuk bela diri!”

“Ara, kalau saja kamu tahu bahwa selama ini aku begitu tersiksa. Selama ini aku berjuang melupakan kamu. Selama ini mati-matian aku mengubur segala kenangan kita. Tahu kenapa? Karena kupikir jarak yang membentang itu akan menyurutkan segala rasa yang ada di hatimu. Kupikir waktu akan pelan-pelan mengikisnya dan membuatmu melupakan aku seiring dengan datangnya orang lain. Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi menghubungimu dari pada aku harus mendengar kalau kamu sudah punya yang lain. Aku menghilang di sini. Mencoba menenggelamkan diri dan mengubur semua. Dan ternyata aku gagal.” Ujar Kim bertubi-tubi.

Cemara tertegun.

“Aku masih dan selalu ingat kamu. Hanya saja aku tidak punya keyakinan bahwa kisah kita akan berlanjut terus.”

“Kenapa, Kim?”

“Karena aku nggak mungkin kembali ke sana, Ara. Hidup dan masa depanku di sini. Ya, ada banyak alasan kenapa kulakukan ini. Menghilang dan mengubur semua tentang kita.”

“Jadi.., apa maksud kamu menelepon?”

“Aku terlalu lelah. Aku cuma ingin mendengar suaramu. Sebentar saja. Dan setelah ini semoga aku kuat ..”

“Jadi?”

“Sekali lagi maafkan aku. Lupakan aku.”

Cemara membanting teleponnya. Dia menghambur ke kamar dan tersedu di bantalnya. Ribuan caci maki melompat di sela tangisnya. Inikah hadiah dari penantiannya selama ini? Nana benar. Cowok itu sudah nyebur ke laut dan dimakan hiu! Terlalu pengecut!

Cemara menengadah. Lewat jendela yang terbuka dapat dilihatnya bintang-bintang. Tentang kata-kata Kim yang omong kosong semua!

“Telepon, Ra!”

Cemara enggan beranjak. Tapi Mama terus memanggilnya. Semoga bukan Kim lagi!

“Ini aku!”

Riko!

“Maaf mengganggu malammu. Tapi saat ini aku sedang di teras dan melihat banyak bintang. Bagus banget, Ra. Coba kamu keluar dan lihatlah! Pilih salah satu yang paling terang dan indah menurutmu. Barangkali aja pilihan kita sama !”

Mata Cemara semakin basah. ***


(Dimuat di majalah Anita cemerlang 1995 sebagai Cerita Utama)

MAKHLUK MANIS ITU, DINDA...

Bagi Ago mahluk cewek itu manja dan egois. Bentar-bentar ngerengek, bentar-bentar ngambek., klemar-klemer, kecentilan, suka cari perhatian, terus demen gosip. Pokoknya semua sifat cewek itu bikin pusing. Ih, Ago sebel banget. Saking sebelnya dia menempatkan makhluk itu dalam deretan paling ujung di kamus kehidupannya. Dia nggak akan deket-deket dengan yang namanya cewek. Ribet.

Dia ingat betul waktu Harris kasak-kusuk di kelas gara-gara dia udah janji sama Ina tapi ternyata sampai bel pulang lewat dari lima belas menit Pak Beni masih saja asik memberi catatan tambahan. Saking gelisahnya, sampai-sampai Harris keringat dingin dan sakit perut. Kenapa? Karena membayangkan Ina bakal ngamuk dan ngomel panjang lebar. Mungkin bakal diputusin. Heran. Kenapa mesti takut diputusin. Kalau Ina nggak mau denger penjelasannya berarti cewek itu egois kan? Ada lagi cerita Rio. Demi Dewi yang doyan banget makan buah manggis, Rio sampai muterin seluruh pasar yang ada di Jakarta untuk mencari buah itu. Kalau dia datang dengan membawa buah Manggis, Dewi pasti senang dan memberinya cipika-cipiki cium pipi kiri kanan. Ya, ampun! Itu berarti cewek itu ada maunya kan? Atau Tito yang selalu membawa-bawa Sita kemana pun ia pergi, supaya ia dapat meyakinkan Sita, yang cemburuan berat, kalau dirinya nggak macam-macam. Padahal Sita sering ngeluh kepanasanlah, capeklah, laparlah. Namanya Manja dan bikin ribet kan? Ada lagi Cyntia, yang paling alergi kena debu, kalau jalan kayak siput dan doyan ngaca. Itu klemar-klemer atau kecentilan seeh? Terus, dia juga sering merhatiin tingkah gerombolan cewek-cewek di sekolahnya yang paling doyan ngerumpi di pojok kantin. Heboh. Topiknya nggak jauh-jauh. Kalau nggak tentang cowok kece pastilah tentang rivalnya dan model baju keluaran baru.

Rese kan! Ago males ngomongin soal cewek. Males deket-deket apa lagi sampe mikirin. Dan salah satu dari cewek itu adalah Dinda. Mimpi apa dia! Ago nggak ingat (saking nggak mikirinnya) sejak kapan tiba-tiba makhluk itu menerobos masuk dalam kehidupannya. Hari-harinya yang semula adem ayem, damai tentram, berubah total dan porak poranda. Tiap pagi jam enam, suara telepon dari Dinda membahana di penjuru kamarnya. Alasan cewek itu, untuk membangunkannya supaya nggak kesiangan! Weeh! Selama ini yang membangunkan Ago adalah jam weker di meja sebelah tempat tidurnya dan dia nggak pernah kesiangan, karena kalau jam wekernya gagal total, pasti Bik Nah atau mama yang turun tangan. Dia nggak perlu telepon dari Dinda! Di sekolah Dinda juga rajin menyapanya, ngintilin dia ke kantin di jam istirahat, menemaninya cari buku di perpus. Ih. Pokoknya nempeeel terus. Ago sudah berusaha mengusir makhluk itu, dari mulai cara baik-baik sampai setengah jutek. Setengah? Ya, mungkin karena masih setengah, jadi cewek itu tetap bebel. Gimana kalau sungguh-sungguh full jutek? Tapi nggak tega. Takut dia nangis. Padahal suer, Ago udah pegel banget. Apa lagi Dinda sok cari perhatian dengan sering telepon malam-malam sekedar ngucapin selamat malam dan nasihatin supaya jangan begadang, karena tiada artinya (kayak lagu dangdut). Kalau melihat Ago pergi bareng temen-temen setelah pulang sekolah, Dinda pasti nanya. Mo kemana? Ngapain? Kenapa nggak pulang dulu? Boleh ikut nggak?

Emangnya dia siapa sih..?

“Go, besok kelas lo ulangan sejarah ya? Lo udah periksa catatan lo lengkap ato nggak? Kalo nggak, lo pinjem temen lo yang lain, biar nanti gue foto kopiin ato gue bantu catet deh!” Dinda mendadak muncul saat Ago lagi bete-betenya di kantin.

“Nggak, makasih!”

“Lo sakit?” Dinda menempelkan punggung tangannya ke kening Ago. Ago cepat menepisnya risih sambil ngedumel. “Gue cuma mastiin apa lo demam, gitu!” Dinda cemberut.

“Gue kena ayan!” ujar Ago kesal. Dia beranjak.

“Go, jangan kluyuran. Cepet pulang trus istirahat ya? Pak Wondo nggak bakal ngasih ulangan susulan!”

Ago cuek. Melenggang pergi. Tapi Dinda mengejar.

“Ato lo punya masalah? Mo cerita?”

Ago berhenti. Menatap Dinda. “Masalah gue adalah…, gue kena ayan! Dan ayannya gue nular. Jadi lo jangan deket-deket gue. Ngerteee?”

Dinda sudah mau protes tapi Ago cepat-cepat pergi. Tito yang, tumben tanpa Sita, berdiri di pintu gerbang, ketawa-tawa melihat tampang kusutnya.

“Kenapa?” geram Ago. Super sewot dia!

“Kasian bener sih, tuh cewek.” ujar Tito yang tahu betul Ago alergi sama cewek.. “Secara nggak sengaja dan di luar kesadaran lo, lo pernah ngasih sinyal kali, Go?”

“Nggak ada sinyal. Gue gak punya HP!” Ago menggeleng resah. “Sekarang hidup gue udah porak poranda. Cewek itu bikin rese!”

Baru saja Ago selesai bicara begitu Dinda tahu-tahu sudah muncul di belakangnya.

“Hai, Ago, Tito! Kok masih di sini? Mau main dulu, ya?”

“Kalo iya, kenapa?” ledek Tito.

“Ago kan harus pulang cepet!”

“Iya, gue mo ngepel dan masak!” Ago keki.

“Elo kan nggak enak badan, Go. Istirahat, ya. Apa lagi besok ulangan.”

Ago menahan kesalnya. Sampe perutnya berasa mules.

“Tuh, busnya datang!” Dinda memenggal kalimat Ago. Tanpa diminta ia menyetop bus itu dan mendorong Ago. “Sampai rumah, makan, terus istirahat ya..Ayo naik!”

Ago berontak. Ditepisnya tangan Dinda. “Apa-apaan sih?”

Dinda terkejut.

“Gue belom mau pulang dan gue nggak mau diatur-atur. Eh, kan gue udah bilang, gue kena ayan menular. Jadi jangan deket-deket gue. Belom ngerti juga?”

“Gue kan cuma mau…”

“Mau apa? Ngatur gue? Atau mau ngeberantakin hidup gue?”

Dinda menggeleng. Matanya mulai merah dan berkaca.

“Denger baik-baik, anak manis. Mending elo yang pulang cepet-cepet nanti dicariin mama. Jangan pikirin gue, mulai besok dan besok dan besok …, oke?” Ago mendorong bahu Dinda pelan ke arah halte. “Selamat jalan, bye!”

“Go?” Tito protes begitu Dinda sudah pergi.

“Lo mau belain dia?”

“Bukan salah dia kalau dia punya perasaan khusus sama elo. Dia mungkin nggak pernah ngira bisa begitu perhatian sama elo dan suka sama lo. Siapa sih yang bisa nebak suara hati. Hari ini kata hati kita begini. Besok atau dua jam lagi hati kita bisa bicara lain. Sumpah suatu kali lo tersadar lo pasti nyesel.”

*

Besoknya tiba-tiba Dinda berubah. Dia tidak lagi menyapa Ago atau ngintilin ke kantin. Dia berusaha tidak menampakkan dirinya di depan Ago. Dia cuma menunduk waktu berpapasan dengan Ago di koridor. Begitu juga hari-hari berikutnya Ago lumayan lega meski diam-diam ada rasa kasihan dan menyesal. Dinda pasti tersinggung dan sedih. Tapi mau gimana lagi? Kalau selama ini dia cuma setengah jutek, dia nggak akan berhasil menjauhkan Dinda. Dia harus sungguh-sungguh jutek.

“Lo harus minta maaf!” bisik Tito, pagi-pagi sebelum bel masuk. “Lo terlalu kasar waktu itu.”

“Biarin aja. Gue nggak mau Dinda tahu gue nyesel. Ntar dikira gue ngasih lampu ijo!” dengus Ago.

“Maaf, boleh tanya?”

Sebuah suara merdu membuat ketiganya menoleh. Nampak seraut wajah cantik mengumbar senyum. Wajah yang sebelumnya tak pernah kelihatan di sekolah ini.

“Kantor kepala sekolahnya di mana, ya?”

“Pagi-pagi nyari kepala sekolah. Kenapa nggak nyari gue?” celetuk Harris konyol.

“Gue pindahan dari Bandung. “

“Oo..” Harris manggut-manggut sok akrab. “Yuk, gue anterin. Udah tahu kelasnya dimana?”

Cewek itu menggeleng.

“Mudah-mudahan sekelas ama gue!” samber Tito.

Cewek itu mengikuti langkah Harris menuju kantor kepala sekolah.

Ago diam terkesima.Cewek satu ini seperti punya daya tarik sendiri. Tiba-tiba dia terpaku pada pesonanya.

“Pasti langsung jadi primadona!” bisik Tito. “Go? Heh! Kenapa lo?”

*

Benar kata Tito. Cewek itu langsung saja jadi pusat perhatian. Semua cowok berusaha cari perhatian dan semua cewek jadi pada sirik berat. Tapi sang primadona kelihatan tenang-tenang saja. Seolah nggak berasa kalau dia jadi sorotan. Cool banget!

Cewek itu, namanya Aurell, satu kelas dengan Ago dan Harris. Ago jadi tidak mengerti dengan dirinya sendiri yang mendadak aneh. Wajah itu terus saja melekat di manik matanya. Membuat tidurnya tidak pulas lagi, dan sering dapat mimpi-mimpi aneh yang gimana gitu.. yang bikin dia tambah pusing. Suer ewer-ewer. Makhluk ini sanggup merubah prinsipnya tentang cewek berubah total.

Dan suatu kali Ago dapat kesempatan bisa duduk dekat sang primadona di perpustakaan. Sebelumnya beberapa kali mereka pernah ngobrol di kelas. Tapi cuma selintas. Kesempatan ini tak disia-siakan Ago.

“Rumah lo yang di jalan Pepaya itu ya?” Ago memulai.

Alis Aurell yang bagus bertaut. “Kok tahu?”

“Pernah liat lo pulang ke situ.”

Aurell cuma manggut-manggut. Tak ada lagi tanda-tanda pembicaraan itu akan berlanjut. Aurell terlalu asik dengan bukunya.

“Gue punya serial Conan, lengkap. Gue denger lo suka serial itu, ya?” Ago mendapat ide itu tiba-tiba.

“Bener?” Aurell berbinar. “Besok bawain, ya?”

“Eh, dilarang bawa komik ke sekolah. Ada razia, mampus gue! Gimana kalo gue anterin ke rumah?” Ago bak mendapat kesempatan emas.

Muka Aurell kecut. “Ke rumah? Ng.., ntar lo keterusan, sering-sering main ke rumah gue!”

“Yee, ge-er! Cuma nganter komik doang. Lagian emangnya kenapa kalo gue sering main ke rumah? Ga boleh?”

Aurell mengangguk.

“Bokap nyokap lo galak?”

“Mereka baik.”

“Terus?”

“Guenya yang nggak mau ada cowok main ke rumah.”

“Kenapa?”

“Kebiasaan cowok! Kalo dikasih sekali, minta lagi. Boleh main ke rumah sekali, nanti jadi berkali-kali. Nanti dari mulai sekedar main, buntutnya ada apa-apanya. Otaknya emang culas. Rese, kan!”

Dada Ago dihantam telak!

“Gue belom mau deket-deket cowok. Cowok itu cuma bikin masalah. Gue masih mau konsen belajar. Apa lagi cowok itu egois. Ngekang, cemburuan dan gombal. Rayuannya selangit tapi nggak setia! Sementara dia sendiri nggak mau digituin. Belom lagi cowok itu sok hero. Padahal... Cowok itu cemen!”

“Udah-udah!” Ago menutup bukunya. Memandang Aurell tersinggung.

“Lho? Kenapa?”

“Makasih atas penjelasannya dan deskripsi lo tentang cowok!” Ago beranjak, “Kalo lo mau pinjem komik itu, datang sendiri ke rumah gue. Dan cukup di pintu pager aja!”

Aurell terlongo.

Keluar dari perpustakaan Ago langsung ke kantin dan meneguk habis dua botol cola. Sumpah. Kali pertama dia dibuat aneh begini; terpesona, lalu memikirkan, memimpikan, sampai kemudian dipermalukan! Dan oleh makhluk yang nyebelin; cewek! Jangan-jangan ini sumpahnya Dinda. Ingat Dinda Ago jadi trenyuh. Kasihan juga tuh cewek. Sebetulnya Dinda itu baik. Hmm, kenapa baru terasa kalau perhatian-perhatian Dinda itu sangat manis. Kenapa baru terasa kalau kecerewetannya itu adalah bentuk rasa sayangnya. Biasa, kita baru menyadari bahwa sesuatu itu berharga saat kita sudah kehilangan! Ago nyesel! Dan ia juga baru tersadar bahwa Dinda tak kalah cantik…Dinda, makhluk manis itu...! Hey, udah berapa lama ya dia nggak liat Dinda?

Di sudut kantin Ago tidak tahu, sepasang mata Dinda memperhatikannya diam-diam. Sepasang mata milik makhluk yang dulu bagi Ago nyebelin. Sepasang mata yang sudah sangat terluka …***


Dimuat di tabloit gaul edisi ...... ? 2002

NAMANYA RISMA

“Namanya Risma,” kata Edo. Untuk yang kesekian kalinya dia memergokiku mencuri pandang ke arah taman.

“Kenal?”

“Dikit.”

“Dikit? Pernah pacaran, ya?” ledekku.

“Sekedar ngobrol-ngobrol.”

Ya. Wajah tirus itu menarik perhatianku waktu aku lari pagi. Rimbunan pohon di sisi jalan melindungi wajah tirusnya dari sengat matahari pagi. Aku melihat ada sisi menarik dalam dirinya. Cara dia duduk. Kedua kakinya terlipat dan tersembunyi di balik gaunnya. Dia begitu asik membaca.

*

Sekali, dua kali hingga berkali-kali melihatnya di sana, bikin aku penasaran juga. Kebetulan saat ini aku tidak sedang bersama Edo. Aku memberanikan diri mendekatinya. “Nggak ada yang jual minuman di sini, ya?”

Dia mendongak dari buku yang dibacanya. Tapi kemudian dia menunduk, meneruskan lagi bacaannya.

“Boleh ikut duduk di sini?” Baru saja selesai kalimatku, tiba-tiba seorang Ibu menghampiri dengan mendorong sebuah kursi roda. Mendekati si gadis tanpa menghiraukanku.

“Ayo, kita pulang!” ujar Ibu itu sambil menyematkan jaket ke pundak si gadis dan memapahnya. Memindahkan si gadis ke kursi roda. Aku tercengang.

*

Aku mendekati Edo yang sibuk mencuci motor bututnya. Melihatku datang dengan muka serius, dia terkekeh tapi tidak bertanya apa-apa.

“Dia nggak bisa jalan, Do?”

“He-eh. Kenapa? Nggak jadi naksir?”

Aku tidak menjawab.

“Udah kenalannya? Kapan?” tanya Edo.

Aku menggeleng. “Belum. Dia memang lahir seperti itu? Atau kecelakaan?

Edo menghentikan kesibukannya. “Dua tahun lalu dia kecelakaan.”

“Oya?”

“Aku pernah ngobrol-ngobrol dikit. Waktu itu dia kayak yang mencoba untuk curhat. Tapi di minggu berikutnya dia minta supaya aku nggak lagi menemuinya. Keluarganya melarang keras ia dekat dengan siapapun. Aku nurut aja, demi kebaikannya,” papar Edo.

*

Gadis itu ragu-ragu mengembangkan senyumnya, membalas senyumku waktu aku melangkah ke arahnya.

“Hai!” sapaku ragu-ragu.

Dia cuma tersenyum. Menunduk. Meneruskan bacaannya.

“Boleh nggak, duduk di sini?”

Dia mengangguk ragu-ragu.

“Rumahmu dekat dari sini? Boleh kenalan?”

Dia tiba-tiba menjadi gelisah. Melempar pandangnya ke satu arah dengan bola mata yang mencari-cari.

“Apa aku mengganggu?” aku mencoba tahu diri.

Seorang Ibu – orang yang sama yang kulihat minggu pagi lalu- muncul tiba-tiba. Mendekati gadis itu dan menatap penuh selidik ke arahku yang ragu-ragu mengulas senyum ramah padanya. Tanpa membalas senyumku ibu itu memapah gadis itu ke kursi roda lalu membawanya pergi.

Aku tercenung. Kenapa mereka begitu apatis? Apa wajahku ini mencurigakan?

*

Sulit menjelaskan apa yang kurasa saat kubayangkan lagi sosok cantik itu. Ya, sayang sekali, gadis cantik itu dalam usianya yang muda, harus menghabiskan waktunya dengan bertumpu pada sebuah kursi roda. Apa yang bisa ia lakukan? Menghabiskan waktu dengan membaca-baca buku di bangku taman? Aku membayangkan kalau ia berada di rumah. Mungkin cuma menonton tivi? Mendengarkan radio? Bermain dengan boneka kesayangannya di kasurnya yang empuk? Atau paling-paling berkeliling di halaman rumahnya dengan bantuan si ibu? Aku tergidik. Sejak menyadari keadaan gadis itu ingatanku selalu dilempar pada sebuah masa lalu. Tuhan Maha Sempurna. Menciptakan makhluk dengan segala keindahannya. Lalu keindahan itu tiba-tiba dirampas....!

Ya, aku telah merampas keindahan yang telah diberikan Tuhan, hingga mengorbankan masa depan bahkan nyawa seseorang! Ya, kalau saja Airin masih hidup, tentu saat ini hidupnya sama seperti gadis itu, bertumpu di kursi roda! Tak berdaya!

Airin! Gadis kecil itu....! Dadaku terasa sesak tiba-tiba. Aku menarik napas dalam-dalam. Sesungguhnya, melihat gadis itu membuat ingatanku terbang pada masa tujuh tahun lalu. Sepedaku oleng saat aku menghindari laju sebuah mobil. Gadis mungil yang kubonceng dengan sepedaku terjatuh, lalu berguling di aspal berbatu dan tubuhnya terhempas pada batang pohon. Sebagian tulang punggungnya patah. Bukan cuma tidak bisa berdiri. Bahkan menegakkan tubuhnya pun tidak lagi. Beberapa minggu kemudian gadis itu telah tiada. Meninggalkan penyesalan berkepanjangan yang membuat sebagian tubuhku menggigil nyeri tiap mengingatnya. Kini, perasaan itu semakin mengganggu. Menyeretku pada sebuah keinginan. Aku ingin berteman dengan gadis cantik di bangku taman itu. Risma. Bahkan menjadikannya teman terdekatku. Aku ingin bisa membuatnya tertawa, berbinar-binar..., aku ingin menjadi tempatnya berlindung dan berbagi!

Saat memikirkan itu Edo muncul di kamarku.

“Sedikit aja!” pintaku, “Aku mau tahu tentang dia.”

“Rik, kalo kamu jatuh cinta, mendingan kubur perasaan itu.”

“Kok, mikir kayak gitu?”

“Apa lagi namanya kalau ada cowok yang begitu memperhatikan seorang cewek?”

“Dia memang cantik,” akhirnya aku berterus-terang, “tapi ini belum berarti cinta!”

“Jadi berarti apa?”

“Aku cuma mau mengenalnya,” gumamku.

Edo terkekeh.

“Heh, beneran! Jangan ngeledek!”

“Rik, keluarganya nggak bakal mengijinkan siapapun mendekati gadis itu. Mereka takut kalau seseorang yang mendekati gadis itu cuma bermaksud mempermainkanya. Apapun alasan kamu mendekatinya, bagi mereka sama saja. Gadis itu nggak boleh punya teman, tau?”

*

“Hai!”

Minggu pagi itu aku sengaja mendekatinya dan menyapa. Gadis itu menatapiku ragu-ragu.

“Aku Erik. Kamu Risma?” ujarku tanpa basa-basi lagi.

Gadis itu mengangguk ragu.

“Aku tahu namamu dari temanku, Edo. Masih ingat dia? Dia juga temanku. Tempat tinggalnya bersebelahan dengan kos-kosanku. Aku memang baru di kota ini.”

“Edo..?” Gadis itu termangu sesaat.

“Sebetulnya dia masih mau berteman denganmu. Tapi.., apa benar kamu nggak boleh berteman dengan siapapun?”

Dia tiba-tiba menjadi gelisah. Melempar pandangnya ke satu arah dengan bola mata yang mencari-cari.

“Kenapa? Apa kamu harus punya ketakutan sebesar itu pada semua orang?”

Gadis itu terbelalak. “Apa kamu percaya bahwa masih ada orang yang benar-benar tulus memperhatikan orang macam aku?” cetusnya tiba-tiba diluar dugaanku. “Atau kamu nggak bisa membedakan arti kata tulus dengan kasihan?”

Aku mencoba tersenyum, menenangkannya. “Kamu nggak pernah tahu ya, bahwa rasa iba bisa melahirkan rasa tulus yang sesungguhnya?”

“Rasa kasihan membuat seseorang semakin tidak berarti!” suaranya terdengar dingin.

“Rasa kasihan membangkitkan semangat seseorang untuk lebih mencintai...,” timpalku tak mau kalah.

“Kalau ada orang yang kasihan sama aku lalu bisa mencintai aku...”

Tiba-tiba si Ibu muncul. Suara langkahnya membuatku bungkam. Ia menatapiku agak lama. Raut wajah dan bahasa tubuhnya penuh waspada.

“Pagi, Bu!” sapaku ramah. Aku sudah bertekad ingin menunjukkan itikad baikku.

Si Ibu tidak menjawab. Ia memapah Risma ke kursi roda. Aku segera sigap, sebelum si Ibu membawa pergi Risma aku mencoba menahan langkahnya.

“Bu, saya Erik. Saya penduduk baru di sini. Saya tidak punya maksud lain kecuali ingin berteman dengan Risma...”

Si ibu menatapiku curiga. “Tahu dari mana namanya? Kalian sudah saling kenal?”

“Siapa yang tidak kenal gadis sebaik Risma, Bu?”

Dahi si Ibu mengkerut. “Tahu apa kamu soal Risma? Maaf, tapi kami harus segera pulang.”

“Tapi, Bu....?”

“Anak muda, tolong, jangan cari perkara! Lebih baik urus saja dirimu sendiri!”

“Bu..!!”

“Kami juga punya urusan sendiri!”

“Bu, saya..., saya juga punya teman yang sama seperti Risma.”

“Lalu?”

“Itu sebabnya saya ingin menjadi teman Risma..”

“Memangnya ke mana temanmu yang sama seperti Risma itu, heh?”

Aku terpaku. Mendapati sorot mata si Ibu yang tak bersahabat. Aku kehilangan kata-kata. Sempat kulihat wajah Risma yang menegang. Lewat matanya ia mengisyaratkan agar aku segera pergi.

“Ke mana dia? Sudah kau sakiti, heh? Sudah puas kau hancurkan hingga tak ada lagi yang bersisa dari hidupnya yang sudah cacat itu? Orang-orang macam kalian hanya memanfaatkan kelemahan Risma. Kalian bangkitkan semangatnya, kalian jejali dengan bualan, lalu dengan begitu kalian mudah merampas masa depannya dan kalian rengut habis-habisan!” si Ibu masih memelototiku. “Urus saja dirimu sendiri. Sebelum ajal menjemputmu semoga kau sadar bahwa hidupmu tidak lebih sempurna daripada gadis-gadis seperti Risma...”

Aku tergugu.

*

Hari berikutnya tak lagi kujumpai wajah tirus namun cantik itu. Bangku taman itu selalu kosong. Aku kehilangan.

“Nggak semua orang bisa menerima maksud baik orang lain, Rik!” ujar Edo pagi itu. Semalaman aku ceritakan semua yang ada di hatiku, juga tentang masa lalu yang hingga kini mengganggu ketenanganku. Kini Edo mengerti alasanku kenapa aku ingin menjadi orang terdekat buat Risma.

“Hal-hal mengerikan telah membawa seseorang pada kungkungan trauma, mendadak membuatnya menjadi figur yang penuh curiga, hingga tak percaya pada siapa atau apapun.”

“Kalau saja mereka mau memberiku kesempatan...”

“Bagi mereka kesempatan adalah omong kosong. Saat ini mereka lebih memilih memasang benteng untuk menjaga diri mereka, ketimbang bertaruh dengan menyediakan kesempatan bagi orang lain! Kamu tau, Rik..., ketakutan mereka saat ini lebih dari sekedar sakit akan musibah yang sudah mereka alami.”

Aku tak bisa menyalahkan. Kalau saja mereka bisa membaca apa yang tertulis di hatiku.

***

dimuat di kaWanku, 2007