“Kamu tolol banget, sih!”
Ya, ampun! Kenapa juga kuntilanak jelek ini muncul sambil sewot begitu? Alis Cemara bertaut.
“Kamu udah ngelewatin satu kesempatan emas, Ara! Duuh, bego amat sih!”
“Na?” Cemara menempelkan punggung tangannya ke kening Nana. Tapi Nana cepat menepisnya.
“Kasihan Riko dong, Ra!” cetus Nana lagi.
Bibir Cemara membentuk bulatan kecil. Mengerti dia. Segala hal tentang Riko dengan mudah mempengaruhi emosi Nana. Sayang betul Nana dengan sahabatnya itu. Dan Nana pasti tahu soal penolakannya akan ajakan Riko tentang makan malam kemarin.
“Kenapa? Bukan karena kamu nggak punya baju bagus atau kamu lagi nggak enak badan, kan?”
“Aku lapar!” Cemara malah menggandeng sahabatnya itu ke arah kantin, “kita makan bakso, ya?”
“Ra!” Nana melotot.
“Aduh, ini siang bolong, Na. Ngapain sih, marah-marah?”
Nana menarik napas dan menghembuskannya kasar.
“Mmm,” Cemara mendelik dengan senyum di ujung bibirnya, “Jadi kamu lebih sayang Riko daripada aku?”
“Aku sayang kalian! Tapi kamu sering ngecewain dia. Kasihan, kan?”
“Memang dia ngadu apa ke kamu?”
“Dia nggak pernah ngadu apa-apa. Tapi aku punya mata dan kuping yang banyak untuk hal-hal yang menyangkut sahabat-sahabatku.”
Cemara mendengus. “Tapi aku belum siap jalan berdua aja. Apa lagi untuk makan malam.”
“Yeaah, kita selalu jalan bertiga.” Nana cemberut. “Riko itu baik dan sabar! Dia suka kamu. Dia cinta berat sama kamu. Kamu sendiri pernah bilang kalo kamu juga suka dia. Apa lagi?”
“Aku kan perlu waktu, Na.”
“Sampai kamu benar-benar bisa ngelupain Kim?” decak Nana, “Dia udah nyebur ke laut, Ra! Udah dimakan hiu!”
Cemara tersenyum kecut.
*
Nana, sahabat sekaligus teman satu kelasnya itu mengenalkannya pada Riko, dua bulan lalu. Sejak itu mereka selalu bertiga. Sampai kemudian lewat Nana Cemara tahu tentang perasaan Riko.
Riko memang baik. Selain tampan dan berotak cemerlang, Riko adalah orang yang menyenangkan. Alasan yang bagus bagi Nana untuk membujuknya membuka hatinya buat Riko. Ya, apa lagi yang kurang dari Riko? Pernah juga –secara becanda- Cemara mengatakan kalau dia juga suka Riko. Tapi kalau untuk membuka hatinya dan menerima cinta Riko, Cemara terpaksa menggeleng kuat-kuat. Dia belum siap untuk hal satu itu.
“Cuma makan malam aja, Ra! Selama ini kita kan selalu bertiga. Nonton, belanja, cari buku..” bujuk Nana lagi siang tadi “Kamu perlu waktu buat berdua. Sekali, dua kali.., sampai kemudian kamu bisa menerima dia pelan-pelan. Aku yakin, kamu bisa jatuh cinta beneran sama dia! Ayolah, Cuma makan malam. Apa susahnya?”
Memang nggak susah. Tinggal ganti baju terus cabut. Lalu duduk manis di dekat Riko yang tampan!
Bukan itu masalahnya. Tapi bagaimana kalau tiba-tiba Riko mengutarakan perasaannya. Tentang tiga kata sakti yang paling ditakutinya.
“Dia nggak akan ngomong soal itu di makan malam pertama kalian! Percaya, deh. Dia bukan tipe gegabah.”
“Tapi artinya aku udah menanam harapan buat dia, kan?”
“Jalani aja dulu, Ra!”
“Kenapa sih kamu ngebet amat jodohin aku sama dia?”
“Kupikir kalian punya banyak kesamaan. Tapi satu hal pasti, karena kalian sama-sama pernah disakiti.”
Cemara menarik napas dalam-dalam. Merapatkan piyamanya tanpa beranjak dari duduknya di beranda samping. Langit lengang dengan hanya beberapa bintang nun jauh di sana. Mata Cemara mengerjap. Menatap satu persatu pijaran cahaya-cahaya itu. Apakah salah satu di antaranya dapat melihat Kim yang jauh di sana, di belahan timur negeri ini?
Cemara menarik nafas lagi. Apa kabar laki-laki itu? Apakah dia masih ingat pada kata-katanya sendiri sebelum pergi dulu?
“Kamu bisa lihat bintang-bintang itu kalau kangen aku. Bintang-bintang itu akan menyampaikannya ke aku.”
“Kok bisa?”
“Langit itu luas. Dia menyimpan segala rahasia hati manusia. Dan bintang-bintang itu yang mengutarakannya pada kita.”
“Waw, sentimental amat, sih!”
“Dan bintang-bintang itu juga akan menyampaikan rasa kangenku ke kamu.”
“Tapi kamu akan kembali kan, Kim?’
“Ya.”
Tapi ternyata tanah Maumere telah menenggelamkannya. Dua tahun berlalu dan tanah Maumere seakan tak mau mengembalikan Kim padanya! Cuma tiga pucuk surat dan empat dering telepon di dua bulan pertama sebelum dia benar-benar raib!
Masihkah Kim mengingatnya, atau setidaknya pernahkah? Satu atau dua kali saja?
Cemara menebarkan pandangnya lagi ke atas. Memilih satu bintang yang paling terang. Menatapnya lama. Dan seolah tengah berbicara padanya, diungkapkannya segala tanya dan rindunya.
Tiba-tiba dia menggeram. Membuang pandangnya dan merutuki diri.
Sudah kali berapa dia begini? Berharap dan berdoa semoga Kim kembali? Mengurung diri dan berkhayal bahwa Kim masih miliknya? Masih mengingat dan mencintainya? Dan sudah kali keberapa dia akhirnya kecewa?
Shit! Dia begitu lelah.
*
“Kita mau makan es krim!”
Mata Nana mengerjap. Ada sorot setengah memaksa di sana.
“Dan es krim lezat itu nggak bakal jadi masuk perutku kalo kamu mengacaukannya!”
Cemara merengut.
“Aku harus pulang cepat. Kali ini tanpa aku, deh!”
Nana menyeretnya ke pojok.
“Kamu pikir Riko mau mentraktir untuk apa? Untuk mencari kesempatan supaya bisa lebih lama sama kamu!”
“Kamu bener-bener memanfaatkan aku, ya!” Cemara merengut.
“Katakanlah begitu!” Nana mengendikkan bahu tanpa merasa bersalah.
Tiba-tiba Riko sudah ada di belakang mereka.
“Gimana? Jadi? Yuk!”
Cemara cuma bisa menurut waktu Nana sudah menariknya masuk ke mobil Riko. Dan seperti biasa Nana akan setengah memaksa menyediakan tempat Cemara di depan, di sisi Riko.
“Es krim ini terkenal dari dulu, lho!” Riko menstarter mobilnya, “Dari jaman orang tuaku muda dulu. Kalian pasti ketagihan!”
“Tapi jangan lama-lama ya, Ko.” Ujar Cemara. Entahlah, sejak tahu isi hati Riko dari Nana, dia jadi merasa tak nyaman lagi.
“Kenapa? Kena tugas ngepel di rumah?”
“Kok tahu, sih?”
“Tenang, nanti aku bantuin nimba airnya!”
Cemara tersenyum. Dia suka gaya Riko yang santai tapi begitu dewasa. Diliriknya Riko sekilas. Dalam hal apa pun, dia sebanding dengan Kim. Tapi kenapa hatinya masih ragu untuk terbuka dan menerima kehadiranya?
“Dulu orang tuaku pacarannya di sini.”
Mereka tiba di sebuah resto kecil yang nyaman. Riko memilihkan tempat di sisi dekat kolam mungil berisi koi-koi lucu.
“Kok kamu tahu? Emangnya orang tua kamu selalu cerita soal masa pacaran mereka?” tanya Nana.
“He-eh. Tapi sebetulnya aku yang banyak nanya. Siapa tahu aku bisa belajar dari mereka.” Riko cengengesan.
“Belajar apa? Belajar untuk bisa memahami dan memperlakukan wanita, begitu?” kerling Nana, “Pantas banyak cewek jungkir-balik sama kamu!”
“Kata siapa ada cewek jungkir balik karena aku! Mungkin memang mereka itu pesenam! Hehe!” Riko geleng-geleng,
“Ada banyak cewek yang terpuruk, Riko. Yang gagal dapetin perhatian kamu!”
“Nggak, aku nggak pernah sengaja membuat mereka begitu. Aku berusaha nggak akan penah mempermainkan perasaan orang. Aku nggak bisa menyakiti siapa pun.”
Cemara menatapnya sekejap sebelum mengalihkan perhatiannya pada koi-koi. Nana tiba-tiba beranjak dari duduknya dan pamit ke toilet.
“Memangnya kamu pernah di sakiti, Ko?” Tanya Cemara ragu.
Riko menggeleng. “Mudah-mudahan nggak akan pernah!” Dia tergelak dan menatap Cemara. “Kalau pun ada yang menyakitiku, aku akan berusaha untuk tidak mengingatnya. Jadi aku nggak tahu siapa-siapa yang penah menyakitiku.”
“Semudah itu?”
“Tentu aja nggak, Ara!”
Cemara tercenung. Memainkan sendoknya.
“Kenapa, Ara?”
Cemara mengangkat wajahnya. “Sebenarnya aku juga takut kalau ada orang lain yang terluka karena aku.”
“Kalau yang kamu maksud soal penolakanmu tentang makan malam tempo hari...”
“Ya, di antaranya.”
“Ara, aku memang kecewa. Tapi aku nggak mungkin terluka cuma karena soal itu. Hei, aku dididik untuk menjadi orang yang berbesar hati.”
“Syukurlah! Tapi...”
“Mungkin aku akan bersiap-siap untuk satu hal lagi yang lebih hebat.”
Cemara menelan ludah. Satu hal lagi? Yang lebih hebat? Tenggorokannya terasa kering. Di depannya Riko menatapnya. Ada sesuatu yang akan terucap di mata itu dan mungkin sudah di ujung lidah. Ah, dia takut sekali. Takut untuk mengatakan tidak. Takut berbohong pada dirinya sendiri bahwa dia mulai menyukai Riko lebih dari kemarin-kemarin. Juga takut karena sisi hatinya masih menyimpan kenangan seorang Kim! Masih berharap kalau-kalau laki-laki itu muncul dan kembali mengisi hari-harinya.
Dan dia tersadar kalau Nana sudah terlalu lama meninggalkan mereka.
“Kemana anak itu?” ujarnya.
“Kamu membenciku, Ara?” Tanya Riko, tiba-tiba dan tak terduga.
Alis Cemara terangkat tinggi.
“Tentu aja nggak, Riko. Kenapa?”
“Tapi juga tidak menyintaiku, kan?”
Cemara sampai berhenti bernapas. Cara Riko mengungkapkan isi hatinya memang berbeda. Tentang tiga kata yang amat ditakutinya. Tapi tetap saja membutuhkan jawaban!
“Aku lelah, Ara. Aku nggak mau mengatakan ini sebenarnya dan akan menyimpannya. Tapi aku lelah. Dan aku tak peduli apa pun jawabanmu!”
Cemara menelan ludah.
“Dan semoga kamu pun lelah menunggu seseorang di sana, Ara. Setelah penantian panjangmu.”
Cemara ternganga.
“Maaf. Nana yang menceritakannya setelah kudesak. Itukah sebabnya kenapa kamu menjaga jarak? Kamu masih menunggunya? Masih setia berharap? Masih yakin bahwa suatu saat angin akan membawanya kembali?”
“Itu urusanku!” cetus Cemara tersinggung.
“Aku iri, Ara. Dan aku cuma berharap kamu lelah menunggunya dan mencoba membuka hati buatku.”
Cemara tergugu. Matanya basah.
*
Malamnya Cemara kembali tercenung di beranda. Kembali menatap satu-satu bintang di langit sana. Dan kembali berbicara pada mereka.
Sebetulnya aku lelah, Kim. Bisiknya pada bintang-bintang itu. Dan menyadari betapa aku begitu bodoh, membiarkan waktu terlewat dengan sebuah penantian yang tak pasti. Tapi cinta ini begitu besar. Kutelan segala gelisah, rindu dan caci maki. Kucoba yakin pada kekuatan cinta yang katanya bisa menyatukan dua hati walau terhalang benteng, jarak dan waktu. Tapi keyakinan itu seringkali terkikis dan nyaris habis. Cinta bukan cuma membutuhkan keyakinan.
Tolong, Kim. Untuk yang kesekian ribu kalinya, aku mohon. Kabari aku. Apa pun itu. Aku sudah menelan rasa sakit dari rindu yang terbendung. Aku sudah membendung keraguan dari cinta yang tak jelas. Ternyata rindu itu menyakitkan dan aku sudah begitu lelah!
Angin malam yang menerpa wajahnya yang basah terasa menggigit dingin. Cemara menghapus air matanya seiring dering telepon dan teriakan mama dari dalam.
“Telepon, Ra!”
Kalau itu dari Riko rasanya dia belum siap menerimanya. Tapi Mama tentu tidak mau tahu.
“Apa kabar, peanut?”
Peannut? Suara itu dan satu-satunya orang yang memanggilnya begitu adalah..
“Kim?”
Cemara gemetar menyebut nama itu. Setelah dua tahun?
“Ya, kalau memang masih ada nama itu di kepalamu!”
“Tentu saja, bodoh!” desisnya. Rasa senang yang meluap membuat matanya basah. “Dan aku berharap bisa memarahimu segera. Kamu dimana?”
“Masih di Maumere.”
Cemara tertegun sesaat. Segera membuang jauh-jauh angan yang sudah memenuhi kepalanya tadi. Ternyata jarak masih saja menghalangi!
“Katakan saja ada kabar apa?” ujarnya hampir menangis.
Sesaat sunyi.
“Kamu menelepon bukan untuk mengatakan kalau kamu kangen aku, kan?” suara Cemara pelan dan ragu.
Masih sunyi. Sesaat kemudian agak tersendat karena ragu terdengar suara Kim.
“Ara, seandainya pun aku mengatakan itu, kamu masih percaya?”
“Tentu aja nggak!”
“Ya, aku tahu. Aku salah.” Terdengar Kim menarik napas berat. “Sudah ada seseorang di sana, Ra?”
Gila! Cemara merutuk. Bahkan memikirkannya pun tidak. Oh, ingin sekali ia marah dan memaki. Ingin juga ditumpahkannya segala tanya yang selama ini mengganggunya. Tapi kemana kalimat-kalimat yang tersusun kala ia menatap bintang-bintang di langit itu?
“Ara, maafkan aku…”
“Untuk menelantarkan aku selama ini? Tanpa kabar apa pun?”
“Ara? Kamu..? Kamu selalu menungguku?”
“Kim! Tentu saja! Dan seperti janji kamu dulu, tentang bintang-bintang itu! Kamu lupa? Kamu bahkan nggak ingat kata-kata kamu sendiri!”
“Salah, Ara!”
“Salah? Oh, kalau saja aku ingat makian apa yang sudah kususun sejak dulu! Oke, Kim. Kuberikan kesempatan kamu untuk bela diri!”
“Ara, kalau saja kamu tahu bahwa selama ini aku begitu tersiksa. Selama ini aku berjuang melupakan kamu. Selama ini mati-matian aku mengubur segala kenangan kita. Tahu kenapa? Karena kupikir jarak yang membentang itu akan menyurutkan segala rasa yang ada di hatimu. Kupikir waktu akan pelan-pelan mengikisnya dan membuatmu melupakan aku seiring dengan datangnya orang lain. Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi menghubungimu dari pada aku harus mendengar kalau kamu sudah punya yang lain. Aku menghilang di sini. Mencoba menenggelamkan diri dan mengubur semua. Dan ternyata aku gagal.” Ujar Kim bertubi-tubi.
Cemara tertegun.
“Aku masih dan selalu ingat kamu. Hanya saja aku tidak punya keyakinan bahwa kisah kita akan berlanjut terus.”
“Kenapa, Kim?”
“Karena aku nggak mungkin kembali ke sana, Ara. Hidup dan masa depanku di sini. Ya, ada banyak alasan kenapa kulakukan ini. Menghilang dan mengubur semua tentang kita.”
“Jadi.., apa maksud kamu menelepon?”
“Aku terlalu lelah. Aku cuma ingin mendengar suaramu. Sebentar saja. Dan setelah ini semoga aku kuat ..”
“Jadi?”
“Sekali lagi maafkan aku. Lupakan aku.”
Cemara membanting teleponnya. Dia menghambur ke kamar dan tersedu di bantalnya. Ribuan caci maki melompat di sela tangisnya. Inikah hadiah dari penantiannya selama ini? Nana benar. Cowok itu sudah nyebur ke laut dan dimakan hiu! Terlalu pengecut!
Cemara menengadah. Lewat jendela yang terbuka dapat dilihatnya bintang-bintang. Tentang kata-kata Kim yang omong kosong semua!
“Telepon, Ra!”
Cemara enggan beranjak. Tapi Mama terus memanggilnya. Semoga bukan Kim lagi!
“Ini aku!”
Riko!
“Maaf mengganggu malammu. Tapi saat ini aku sedang di teras dan melihat banyak bintang. Bagus banget, Ra. Coba kamu keluar dan lihatlah! Pilih salah satu yang paling terang dan indah menurutmu. Barangkali aja pilihan kita sama !”
Mata Cemara semakin basah. ***
(Dimuat di majalah Anita cemerlang 1995 sebagai Cerita Utama)